11.27.2011

INDONESISCHER KULTURABEND 2011 KARLSRUHE

kommt und endeckt...!

INDONESISCHER KULTURABEND 2011 KARLSRUHE
bei PPI Karlsruhe, Deutschland
Samstag, den 3.12.2011
ab 18.oo Uhr

am : Studentenhaus Festsaal
Adenauerring Straße 76131
Karlsruhe, Baden-Württemberg
Deutschland

Gamelan... Tradittionelle Tänze und Lieder... Gastronomie der Indonesiern...

Special Performance by Albiruni Raushanfikri:

KLANARAJA-TANZ
und
SAMAN-TANZ (als Sheikh)

5.23.2011

CIREBON… I’m Melting! (PART II)

CIREBON… I’m Melting!

*ilfil juga sih*

(PART II)

Selanjutnya, ada lagi yang patut di coba yaitu makan nasi jamblang (bahasa kerennya abg Cirebon: nge-jam alias ngejamblang -----> *e buset*) nah kami diajang Kang Johan buat makan di salah satu kedai nasi jamblang yang ramenya bukan main, jangan harap ada meja disana, yang ada Cuma bangku ditata sedemikian rupa, persis seperti susunan bangku antri bayar listrik. Cara pembayaran disana adalah bermodalkan jujur ketika ngaku di kasir.

Kemudian ada lagi tempat nasi jamblang yang enak, yaitu Nasi Jamblang Dermaga, letaknya persis di dermaga pelabuhan Cirebon, kalau ini saya akui lebih enak rasanya (harganya juga hehehe) hemmm sayur cumi setinta-tintanya… astaga… enak buanget…! Gigi orang aja bisa sama bulugnya.

Sepertinya tentang nasi jamblang, begitu juga dengan empal gentong. Empal gentong petama dan terenak yang saya coba adalah di pinggir jalan ke Goa Sunyaragi, depan sebuah SD di selatan kota Cirebon. Bumbunya yang kuat ditambah dengan perasan jeruk nipis membuat empal gentong memiliki rasa juicy yang khas.

Kerupuk melarat, siapa yang ga tau dengan kerupuk yang diolah hanya menggunakan pasir, tanpa minyak. Maka itulah kerupuk itu disebut kerupuk melarat. Hehehe.

Selanjutnya sore ketika saya harus berpisah dari Cosmomen 2010, saya melajutkan untuk pergi berziarah ke makam Sunan Gunungjati. Lokasinya tidak begitu jauh dari kota Cirebon, begitu sampai saya terkejut dengan perilaku para peminta-minta dan warga yang mengaku sebagai ‘pengurus’ makam yang terkesan kasar dan memaksa dalam meminta sumbangan.

Namun untungnya ketika saya hendak masuk, ternyata ada rombongan peziarah dari daerah jawa tengah yang hendak masuk, maka saya ikut menyelinap diantara rombongan tersebut. Jadi, tidak terlalu pusing dalam menangani keributan orang-orang yang mengaku dari mulai menjadi tukang kebersihan sampai tukang ledeng kali ya.

Sesampainya saya di pintu pasujudan disana ada rombongan yang memulai tahlil, irama-irama sholawat dan doa yang tidak asing ditelinga saya, berkumandang dengan semangat, para pemimpin peziarah sering menjelaskan kepada rombongannya, agar tidak meminta sesuatu kepada sang Sunan, tapi beliau kita minta sebagai wasilah atau perantara agar mau memintakan hajat kepada Allah swt. Juga berterimakasih kepada sang Sunan, karena perjuangan beliaulah islam dapat sampai di bumi nusantara ini.

Tidak lama di tengah rombongan di depan saya bertahlil, datang rombongan lainnya dengan nada sholawat, tahlil yang berbeda, sama semangatnya. Akhir gemuruh kumandang doa dalam area pemakaman tersebut menjadi bergelora.

Hal itu mengingatkan saya, ketika di Kairo dulu, dimana ketika berziarah banyak tarekat-tarekat sufi dengan gaya dan zikirnya berbeda namun isi dan tujuannya sama berkumandang di area Sayidah Zaenab. Pengalaman yang menarik bagi saya melihat fenomena itu. Namun, tidak ada satu pun yang ricuh.

Ada bengunan serupa seperti bangunan pusaranya Sunan Gunungjati. Tepat disebelah kirinya, tapi yang mencolok adalah dominasi warna merah, saya langsung tebak ini adalah bangunan pusara istri sang Sunan yang berdarah Tiong Hoa, tidak heran kalau di depannya ada tempat meletakan hio dan pembakar kertas doa seperti di klenteng.

Perbedaan yang timpang disaat makam sang Sunan penuh sesak jamaah, di makam istri beliau keheningan meliputi bangunan ini, bagi saya tidak ada kesan angker.

Begitu keluar dari area makam, tiba-tiba ada seorang yang menghampiri saya sambil membawa keranjang seperti keranjang pencuci sayur tepatnya), yang pastinya untuk meminta, dia mengucapkan,”saya belum…”

waaa… capek deh!!!*

*: mau pulang pake apa gue?!, orang travel buat balik ke jogja aja belum kebayar.

4.28.2011

DARI SUNYARAGI BISA KE MEKAH


Itu kata penduduk yang menjaga Sunyaragi(deng… saya lupa menanyakan arti sunya ragi, cari di internet aja ya pembaca-PR amat yah?!), ya kalau fungsinya untuk tempat orang bermeditasi juga menyendiri. Kalau istilah jawanya; semedi, kalau dalam istilah Islam; tafakkur, dzikir, atau khalwat. Juga ada tempat penempaan senjata, juga rekreasi keluarga Sultan.
Awal saya kemari tidak lain adalah rangkaian acara rekreasi keluarga Cosmomen 2010 sekaligus acara pemotretan, kerenannya photoshoot. Dengan saktinya rekan saya, Bang Johan mendapat ijin untuk melakukan pemotretan disini dengan diberikan surat keputusan langsung dari Sultan Kasepuhan Cirebon untuk mengijinkan kami melakukan pemotretan di tempat tersebut. Lengkap dibubuhi segel kerajaan.
Sunyaragi yang saat ini menjadi milik Keraton Kasepuhan Cirebon itu, memiliki banyak gua. Saya langsung saja ceritakan beberapa gua yang memiliki niliai historis sampai ke mistis ya. Bisa dibilang, memang walau letaknya di daerah kawasan padat penduduk, tapi kesan wingitnya masih terasa.
Gua Pawon, secara bahasa artinya Gua Dapur. Nah dikasih nama seperti itu bukan berarti para abdi dalem masak disitu. Tapi Gua Pawon difungsikan sebagai tempat pengiriman makanan beserta lauk-pauk(kalau saya boleh bilang sekarang mungkin sesajen) ke pemakaman Sunan Gunungjati. Canggih juga ya teknologi jaman dulu, nama ajiannya saya lupa, apalagi mantranya. Jadi teknologinya sudah setara dengan film-film Starwars, orang dengan mudahnya mengirim barang dengan seeanaknya.
Ada cerita yang begitu menggugah nurani di Gua Pawon, yaitu pada suatu hari di bulan Ramadhan ada sepasang kekasih yang melakukan hubungan suami-istri disana. Alhasil, mereka kena dempet alias (sorry) ’belakang’ sama ‘depan’ ga bisa lepas-lepas. Akhirnya mereka diarak menuju kantor kelurahan oleh warga, kemudian dipisahkan oleh ‘orang pintar’.
Tidak tahu juga alasan mereka sampai mau melakukan hubungan suami istri di tempat se’horor’ itu. Pengen dikata biar eksotis… tepok jidat.
***

CIREBON… I’m Melting!


Perjalanan saya kali ini tidak seorang diri, tapi ditemani oleh teman-teman finalis Cosmomen 2010 yang seklaigus juga momen reunion dan pemotretan. Jadi ada pengalaman yang beda ketika saya backpacking sendirian. Mulai dari konvoi dengan empat mobil Jakarta-Cirebon, misleg gara-gara mobil yang ditumpangi beda dengan yang dijanjikan, sampai ledakan bom di Kalpolres Cirebon.
Sementara di Cirebon heboh dengan goyangan bomnya. Kami baru sampai di Cikampek, tepatnya rumah makan Cahaya Paris. Entah mengapa si owner memberi nama seperti itu. Kebetulan Mbak Fira Basuki sempat menulis novel yang berjudul Paris Pandora. Kebetulan? Maybe...
Jalan Panembahan, Trusmi menjadi tujuan kami disana. Trusmi, apa sih yang tidak terkenal selain batiknya, dan Cirebon khas dengan motif Mega Mendung yang berwarna cerah, yang menjadi ciri khas batik-batik produksi daerah pesisir utara Pulau Jawa.
Beruntungnya kami karena salah seorang finalis Cosmomen berasal dari Cirebon, men’s thingnya: membatik. Kang Johan sang juragan batik namanya, memiliki label Rajjas Batik, langsung menyambut kami di kediamannya. Shock! Disana seperti orang mau ngadain acara tunangan; kursinya diatur rapih, prasmanan dijejer, dan ada tukang tahu gejrot seabangnya.
Tambah lagi kuliah singkat pembuatan batik langsung di pabriknya. Selama saya belajar batik, baru sekarang saya melihat wajan buat canting diganti wajan buat cap. Terus posisinya teratur, biasanya kalau di Jogja pakai wajan canting, event para mbak-mbak pembatik duduknya mengitari si wajan dan kompor, suka ga teratur. Tapi disini beda, karena si wajan gede kaya buat goreng martabak, makanya mereka bisa duduk teratur kalau diliat dari atas kaya bunga.
Terus acara ramah tamah dengan keluarga Kang Johan. Susah ya punya nafsu makan tinggi juga doyan kuliner. Bayangkan! Dari ujung ke ujung makanaaannn semua, saya jabarin: aqua gelas, buah-buah segar (apelnya saya plastikin buat di kamar pas pulang), tape bugkus daun jambu, nasi lengko, es sirup campolay rasa pisang susu yang warnanya pink, terakhir tahu gejrot se pikulan dan abangnya. Oh tadi ada kerupuk kulit alias krecek yang diameternya 10 sentian. (saya yang menulis mendadak laper lagi).
Waktu sudah menunjukan kami harus check in. sebelum pindah masing-masing mendapat hadiah berupa kemeja batik. Thank you Bang Johan. Kalimat doa menjulur keluar dari setiap bibir. Intinya doain biar usahanya tetep lancer. Amin…
Puyi Takoyaki, owner masih sama; Kang Johan. Restoran yang menyajikan menu masakan jepang dan bukan abal-abal. Parah, melihat designnya saya sendiri merasa seperti di bilangan Dyanapura, Bali, , kebetulan butik sebelah juga miliknyaaa… Kang Johan lagi. (salut bener buat Kang Johan).
Sini-sini, saya ceritakan: baby octopusnya disiram saus merah hmmm… lembut begitu di mulut, rumput laut bertabur wijen yang nyesss… di lidah, ochanya dong panas dan segar (yang sering ke restoran jepang pastinya ngerti dong mana ocha yang segar dan yang tidak), shabu-shabunya… alamak… jamur shitakenya…, sandung lamurnya…, mie kedelainya… sampai saya yang sedang menulis,ngiler ingin lagi ke sana. Thank you Kang Johan.
***

KATAMAN

Maka selesailah satu rangkaian dari beberapa untaian yang harus saya gali dan pelajari dari perjalanan seorang Panji, Ada rasa puas tersendiri di diri saya setidaknya saya tidak begitu buta dalam membawakan perawakan tokoh-tokoh dalam setiap tarian saya (tentunya yang berkaiatan dengan cerita Panji dong). Matahari tergelincir sudah. Setia Darma sebentar lagi sudah harus selesai beraktifitas pada pukul empat sore. Saya dan Bratma mohon diri kepada Mas Andang yang menemani kami selama kami berada di area Setia Darma.

Alhamdulillah-nya saya masih diberi kesempatan untuk mampir lagi ke Bali sendiri. Sekedar untuk main-main juga saya sempatkan ke Setia Darma. Suasana yang masih sama seperti ketika dulu saya berkunujung pertama kali. Saya juga diberi kesempatan untuk bertemu langsung dengan Pak Prayit. Namun, untuk kunjungan yang terakhir saya salut uat Mas Andang yang dia menggunakan salah satu pendopo kecil dikomplek itu untuk tempat belajar bagi anak-anak di sekitar Setia Darma.

Akhirnya, mengejar cerita Panji di Bali saya cukupkan, walau masih mungkin banyak yang tersimpan dalam lembaran-lembaran lomtar yang bersemayam pada puri-puri di penjuru Bali.
Sekedar ingin ikut-ikut tradisi para pujangga keraton; kalau nulis karya terus belakangnya dibubuhi tanggal penyelesaian. Karangan ini berakhir pada tanggal;

Senin , 25 April 2011,
Senin, 22 Jumadal Ula 1432 H,
Wage, 22 Jumadil Awal 1944 Be.

4.20.2011

JOKO KEMBANG KUNING (EPISODE IV)

Kediri dengan segala kesejahteraanya yang diturunkan oleh para Hyang yang bermukim di Mahameru. Raja yang dianugrahi puteri cantik bernama Dewi Sekartaji. Memiliki kekasih bernama Panji Asmarabangun dari Jenggala Manik. Namun sayang, Prabu Klana dari Nagarisebrang juga ingin melamarnya. Maka, untuk memelihara cintanya yang murni. Dewi Sekartaji kabur meninggalkan Kaputren.

Kabar hilangnya Dewi Sekartaji tersebar hingga keluar dari tembok kedaton. Seluruh punggawa dan teliksandi kerajaan dikerahkan, begitupun dengan Raden Gunungsari adiknya tidak mau tinggal diam sementara kakaknya menghilang dari kedaton. Lama dicari hingga akhirnya wakil raja, Patih Aryadeksa memutuskan untuk mengadakan sayembara bahwa siapa saja yang mampu menemukan kembali Dewi Sekartaji, apabila ia pria maka akan dinikahkannya, dan apabila perempuan akan diangkat menjadi saudaranya. Berita sayembara tersebar keseluruh nusantara, maka tentunya Raden Panji Asmarabangun juga Prabu Klana ikut serta dalam sayembara itu.

Lalu diceritakan Raden Panji Asmarabangun menyamar sebagai rakyat dengan nama Joko Kembang Kuning, begitupun kedua punakawannya; Jarodheh dan Prasanta. Merka berdiam di kediaman paman Raden Panji, Ki Demang Kuning pemimpin Kademangan Kuning Ditengah perjalanan mereka bertemu Ki Tawang Alun, setelah menceritakan kejadian yang menimpa Raden Panji, maka Ki Tawang Alun beserta pengikutnya bersedia untuk membantunya.

Dilain tempat, Dewi Sekartaji beserta embannya diterima oleh Ki Cona Coni, tumenggung dari Desa Palu Ombo dan mengangkatnya sebagai anak angkatnya untuk membantu penyamarannya. Namun jika Dewata berkehendak, suatu saat dalam rangka pencahariannya Joko Kembang Kuning menjadi pengamen Tembang Kentrung sampailah ia di Katemanggungan Palu Ombo dan tak disengaja bertemu dengan Dewi Sekartaji yang sedang menyamar juga. Akhirnya mereka saling melepas kerinduan.

Maka setelah pertemuan singkat itu, maka Joko Kembang kuning segara mengutus Ki Tawang Alun untuk ke Pangleburan, Keraton Kediri dan memberitahukan Naladerma (adik Raja Kediri) bahwa Dewi Sekartaji sudah diketemukan oleh Joko Kembang Kuning. Namun disaat bersamaan di Keraton ada utusan dari Nagariseberang, Namun disaat yang sama pula, Retna Tegaran adik Prabu Klana yang mebawa mahar untuk meminang Dewi Sekartaji melalui perantara Retna Mindaka. Namun, mahar pernikahan ditolak oleh , karena bukan mahar yang diinginkan, namun diketemukannya Dwi Sekartaji. Akhirnya terjadi pertempuran hebat antara Retna Mindaka dengan Retna Tegaron utusan dari Nagariseberang di Pangleburan.

Di lain tempat Ki Tawang Alun yang sedang dalam perjalanan menuju Kediri akhirnya diketahui maksud kedatangannya oleh utusan pihak Raja Kelana, yakni Patih Kebo Lorodan ketika dalam perkelahian ia melihat Ki Demang Kuning dan Tumenggung Cona Coni bersama Ki Tawang Alun.

Raja Kelana melakukan kelicikan dengan segara menghadap Raja Kediri dana akan mengatakan kalau ia telah menemukan Dewi Sekartaji. Akhirnya terjadilah perang tanding di hadapan Raja Kediri, Raja Kelana melawan Patih Aryadeksa dan Ki Tawang Alun. Keributan itu menyusut menjadi duel antara Ki Tawang Alun, sebagai wakil dari Joko Kembang kuning dengan Patih Kebo Lorodan dari pihak Raja Kelana.

Jauh di Kademangan Kuning, Joko Kembang Kuning mendengar kabar bahwa lamarannya telah diterima, namun di tengah perjalanan ia mendapat laporan kalau terjadi pertempuran antara pihaknya dengan Nagarisebrang. Maka ia bergegas menuju Alun-Alun Kediri untuk membela pendukungnya.

Maka begitu sampai di medan laga, Joko Kembang Kuning segara ikut dalam pertempuran, menggantikan Ki Tawang Alun melawan Patih Kebo Lorodan. Ki Tawang Alun sendiri pun harus mundur dari medan pertempuran dibantu oleh Naladerma karena terluka dalam duelnya dengan Patih Kebo Lorodan dan Ki Tawang Alun harus dirawat oleh Ni Cona Coni.

Dalam pertempuran itu akhirnya Patih Kebo Lorodan harus tewas di tangan Joko Kembang Kuning, dengan disaksiakan para punggawa Kediri, Raja Kediri, Dewi Kilisuci, Patih Arya Deksa, Tumenggung Cona Coni, dan Ki Demung Kuning. Mendengar kejadian itu, marahlah Raja Kelana dan bersumpah akan menyerang Kediri dan merebut Dewi Sekartaji untuk dijadikan istrinya.

Gandarepa sebagai putra dari Raja Kediri memimpin wadyabala Kediri dibantu oleh Joko Kembang Kuning, Naladerma, dan Ki Demang Kuning untuk melawan bala tentara Raja Kelana.

Sementara di Keraton Kediri, Raja Kediri mengutus Senapati Sedahrama dan ke Palu Ombo untuk menyampaikan kepada Tumenggung Cona Coni agar Dewi Sekartaji pulang ke Keraton Kediri. Raja Kediri juga mengirim keris pusaka kepada Ki Tawang Alun sebagai tanda terima kasih karena pengorbanannya dalam pertempuran di alun-alun Kediri.

Suatu malam, masih dalam suasana pertempuran Raja Kelana dirias oleh Retna Tengaron seperti Gandarepa agar mudah masuk ke Kebon Pungkuran untuk menculik Dewi Sekartaji. Namun, Dewi Sekartaji tahu bahwa yang datang bukanlah Gendarepa yang asli, karena dilihat dari sikap dan bau tubuhnya. Maka gagalah penyamaran Raja Kelana untuk menculiknya.

Perang sengit terus berlanjut dengan antara Kediri dan Nagarisebrang. Kediri yang dipimpin oleh Pangeran Gandarepa dan Joko Kembang Kuning, dan Nagarisebrang dipimpin oleh Raja Kelana. Banyak korban berjatuhan dari kedua belah pihak. Namun pada akhirnya, tewaslah Raja Kelana karena kelalimannya dalam pertempuran. Begitu banyak rampasan perang yang didapat mulai dari harta benda, senjata-senjata , kuda-kuda, dan para dayang dan emban kemudian diboyong ke Keraton.

Akhirnya selesailah penyamaran sepasang kekasih tersebut. Pernikahan segera disiapkan. Dewi Kilisuci menjadi dukun pernikahan mereka berdua. Dewi Sekartaji begitu anggun tanpa menggunakan mahkota, melainkan hanya dengan rambut terurai berseling melati-melati merekah di sela rambut hitamnya.

Namun, pada gulungan keempat sayngnya tidak boleh dibuka sesuai dengan pesan dari para pendahulunya. Dalam adegan ini menurut Prof. Dr.Primadi Tabrani (bedasarkan salinan milik Mangkunegara VII) diceritakan tentang pernikahan kedua mempelai, kemudian digambarkan pula Dewi Sekartaji menggendong naga, yang menjadi simol kehamilannya, lalu akhirnya Dewi Sekartaji diboyong ke Jenggala. Mereka pun hidup bahagia.

banyankalpataru.blogspot.com mengucapkan


Selamat dan Sukses
KONGRES NASIONAL I
Sekretariat Nasional Perkerisan Indonesia
(SNKI)

Surakarta, 19-21 April 2011


4.05.2011

CERITA PANJI

Banyak sekali serat-serat yang menceritakan kisahnya. Mulai dari Keraton Yogyakarta sampai Kasunanan Surakarta. Memang harus diakui kalau sampai saat ini lebih banyak pujangga Keraton Surakarta yang aktif menulis serat-serat yang mengangkat tema cerita Panji, seperti Yasadipura serta cucunya R. Ranggawarsita. Untuk menikmatinya teman pembaca dapat berkunjung ke perpustakaan daerah. Memang diakui ceritanya sangat merinci sampai terkadang bisa membosankan.

Namun satu setengah abad sebelum para pujangga keraton menceritakannya dalam syair-syair. Cerita Panji bisa dikatakan sebagai cerita roman sekelas Romeo and Julietnya Shakespeare. Dimana mengambil latar waktu pada masa kerajaan Jenggala Manik dan Kediri berdiri. Musuh utamanya tentunya para raja-raja di tanah seberang yang sering diberi julukan depan Klana.

Kerennya tentang cerita Panji ini adalah, sempat booming pada masa Majapahit menguasai nusantara. Jadi jangan heran kalau adayang membaca cerita Panji, diketemukan lakon atau latar di negara-negara Indochina bahkan sampai Filipina dan India, karena menurut liteatur yang pernah saya baca bahwa cerita itu juga sekaligus alat pemersatu nusantara pada jaman majapahit.

Untuk di Thailand sendiri cerita ini bernama Inao, alias Inu Kertapati yang hidup pada masa setelah dipecahnya kerajaan Kahuripan, yaitu Jenggala dan Kediri. Sama juga di daerah Kalimantan, Makasar, dan Bali mereka punya penyebutan sendiri-sendiri, tapi berkiblat pada cerita-cerita panji asal masa Kediri-Jenggala. Makanya di Bali ada tarian Panji Semirang. Ada yang mengatakan kalau Panji itu tidak hanya satu orang. Namun yang lainnya mengatakan satu orang.

Inilah salah satu kekayaan nusantara. Roman tentang Panji menjadi cerita rakyat diseluruh nusantara pada jamannya. Jadi seain kisah-kisah dari epos Mahabarata dan Ramayana, nusantara memiliki satu kisah original yaitu, Panji. Kemudian bukti kalau cerita panji menyebar di seluruh daratan Jawa dan Bali. Seperti yang saya katakan di atas, kita melihat Tari Topeng Cirebon, Indramayu, Yogyakarta, Solo, sampai Malang, lanjut ke Bali, semua bersumber pada cerita Panji. Dari mulai berbentuk wayang beber, hingga klithik. Wahhh… Tentunya nusantara sangat kaya sekali akan potensi budaya yang ada, hanya tinggal kita yang masih ingin melestarikan atau tidak. Cheers!

4.01.2011

GUNUNGSARI, Pangeran Pesolek Asli Kediri

Jangan kira Gunungsari adalah nama tempat atau makanan tradisional seperti jajanan pasar. Tapi ini adalah tokoh dalam cerita Panji. Ia adalah seorang pangeran dari kerajaan KediriDewi Ragil Kuning, dan ia adik dari Dewi Sekartaji.
(tentunya masih pada ingat semua tentang bab kerajaan Hindu-Budha di Nusantara ketika masih di sekolah dulu dong). Memiliki pasangan bernama


Minggu, 27 Maret 2011 yang lalu kebetulan saya diberi kesempatan untuk menjalankan amat menari di Bangsal Sri Manganti Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kemudian tarian yang akansaya tarikan adalah Klana Topeng Alus Gunungsari. Sebuah tanggung jawab besar dan kehormatan jika dapat menari di dalam tembok keraton. Sebagai seorang yang masih dibilang awam tentang tarian, tentunya saya agak sedikit deg-degan. Apalagi saya baru resmi merampugkan pelajaran saya sebulan yang lalu. Itupun masih dalam tingkatan hapalan, belum masuk ke tekhnik bahkan penghayatan. Jadi masih bisa dikatakan kalau saya menari masih dalam tahap isa jogedan.


Ada yang masih menjadi tanda tanya besar bagi saya mengapa hampir disetiap tarian jawa tidak lakon pria atau wanita mereka kebanyakan melakukan apa yang dinamakan Beksan Muryani Busana atau bahasa sekarang merias diri, kalau tarian kakung (tari untuk Laki-laki) biasanya dimulai dengan teplak asta alias tepuk tangan, kemudian atrap jamang, miwir rikma, miwir boro dan masih banyak lagi. Itu belum yang untuk tari putrinya lho… Makanya saya memberi judul Gunungsari, Pangeran Pesolek Asli Kediri, hampir semua gerak tarian ia merias diri dan Kediri memang dikisahkan ia sebagai pangeran Kediri.

Nahhh… ini adalah foto-foto saya hasil bidikan Echa rekan saya, ketika malakukan tarian. Enjoy it…!







Thus, I want to say Thank you to My Lord, Mas Alin, Ibu Tiyah, Pak Toro, dan Pak Suprih sebagai pembina secara langsung dan tidak langsung, kemudian Mas Papang beserta teman-teman wiyaga yang tidak bisa saya sebutkan satu-satu, Keluarga besar Pujokusuman dan Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa, pihak Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, juga M. Ersa Adiprasetya sebagai fotografernya. Thank you all

Now In April

Culture and Tourism :

Tips Wisata Ziarah Kotagede-Imogiri

My Journeys :

Gunungsari
Pangeran Pesolek Asli Kediri


...and many more...




TIPS WISATA ZIARAH IMOGIRI-KOTAGEDE

Pertama adalah waktu berkunjung. Agar tidak kecelik maka kita harus tahu waktu bukanya, untuk di Imogiri dibuka hanya pada hari Senin pukul 10.00-12.00 dan Jumat pukul 13.00-15.00, dan Imogiri Senin, Kamis, dan Minggu Pukul 10.00-13.00 dan Jumat pukul 13.00-16.00, serta pada bulan Ramadhan, pemakaman akan ditutup untuk sebulan penuh.


Pemakaman Imogiri dan kotagede memiliki peraturan yang sama dalam masalah seragam resmi berziarah, yaitu: baju peranakan, kain batik, dan blangkon. Untuk baju peranakan berbahan kain lurik bercorak biru dan hitam, biasa dipakai oleh abdidalem Keraton Yogyakarta. Dengan kain batik selain bercorak Larangan, Seperti Parang Barong dan Kawung. Sebaiknya kain diwiru ganjil dengan ukuran lebar, selebar 3 jari. Terakhir blangkon dengan bentuk design Kagok Mataram. Bagi yang tidak mau repot, akan disediakan penyewaan baju dengan biaya sewa sebesar Rp 10.000,00.


Bagi wanita harus menggunakan semacam basahan yang terdiri dari kain batik, dan kemben serta bagi yang berambut panjang harus disanggul. Untuk yang menggunakan jilbab, tidak perlu khawatir. Kemarin saya melihat ada peziarah yang menggunakan bawahan basahan dengan jilbab di kepala serta daerah dada sampai leher ditutup dengan kain tambahan yang fungsinya seperti pashmina, jadi aurat tetap tidak terlihat.


Selanjutnya jangan lupa juga untuk mempersiapkan uang pecahan ribuan yang cukup karena di lapangan akan banyak sekali ‘kotak amal’. Seingat saya(baca; edisi maret: Imogiri, ‘Peristirahatan’ Berpeluk Kabut dan Pesareyan Kotagede, Setitik Keheningan dalam Kesibukan Jogja), untuk di Imogiri, terdapat sekitar lima belas wadah sumbangan, dan di Kotagede terdapat (kurang lebih) tujuh wadah sumbangan.

3.21.2011


BE! "THE FIRST FOLLOWER" of
banyankalpataru.blogspot.com



and get a special gift from me!




*: Only applies to areas in Indonesia

PESAREYAN KOTAGEDE, Setitik Keheningan dalam Kesibukan Jogja

Begitu meninggalkan Imogiri (baca: Imogiri, ‘Peristirahatan’ Berpeluk Kabut, Edisi Maret 2011) dengan masih berbusana peranakan, saya langsung menuju Kotagede, sudah beberapa kali saya ke Kotagede, tapi kali ini bukan ingin mengantar sedulur belanja, tapi spesial untuk melakukan ziarah.

Terletak sebalah barat laut dari Kota Yogyakarta, kota yang terkenal dengan kerajinan peraknya ini strategis, diapit oleh dua sungai, menjadi pilihan bagi Panembahan Senopati untuk mendirikan ibukota dari kerajaan yang beliau dirikan. Sebagai pusat pemerintahan yang masih mengacu kepada pola tata letak ruang pada jaman kerajaan Hindu-Budha, maka Panembahan senopati juga mendirikan kedatonnya sama seperti itu. Namun yang tersisa saat ini hanyalah Masjid Agung, tembok, dan Watu Gilang yang dulu berfungsi sebagai singgasana raja.

Karena waktu sudah hampir siang, dan area pemakaman tutup pada pukul satu siang, maka saya langsung menuju area pemakaman yang ternyata ada rombongan yang sepertinya dari Universitar Tri Sakti (lagi KKN mungkin ya?). begitu masuk saya langsung diarahkan menuju pusara Panembahan Senopati, tapi karena penuh, saya menuju pusara milik ayah angkat beliau, Sultan Hadiwijaya (Sultan pertama Kesultanan Pajang).

Sama seperti yang saya lakukan dalam setiap ziarah, saya melakukan rangkaian dari mulai qashidah pembuka, yasinan, tahlilan, sampai dengan qashidah penutup. Suasana di pesareyan di Kotagede tidak jauh beda dengan di Imogiri. Gelap namun luas, jadi sekitar kurang lebih dua puluh pusara ada dalam satu atap limasan.

Banyak sekali tokoh terkenal yang terdapat dalam cerita sejarah dimakamkan disana, terutama pada masa berakhirnya Kesultanan Demak sampai berdirinya Mataram Islam. Jadi jangan heran, jika Ratu Kalinyamat yang bahkan kerajaan Perancis pernah mengirimkan delegasi untuk meminta restu dalam melakukan perdagangan di nusantara, pusara beliau ada di Kotagede. Begitu juga Ki Ageng Mangir yang terkenal akan separo pusaranya yang berada di dalam dan setengah bagian di luar tembok komplek pemakaman, dikarenakan Panembahan Senopati menganggap dirinya sebagai menantu juga musuh.

Ada yang paling berkesan ketika saya berhasil menemukan pusara leluhur saya, Sunan Amangkurat Agung. Ya, yang reputasinya terkenal kejam*; membunuh puluhan ulama tembayat, menghabisi nyawa seluruh selir, bertikai dengan putra mahkotanya sendiri, melakukan persekutuan dengan kompeni yang sebelumnya diperangi oleh ayahnya sendiri, bahkan sampai memutuskan hubungan diplomasi dengan Kesultanan Makasar, yang ketika itu dipimpim oleh Sultan Hasanuddin. Pasalnya, menurut juru kuncinya beliau tidak dimakamkan di Kotagede, namun dengan berbekal kebisaan saya dalam membaca aksara Jawa, makanya saya menemukan pusara beliau.
Dahulu saya pernah diajak juga namun tidak sampai masuk ke makam. Saya beserta Simbah pergi untuk melihat kolam yang konon tempat hidupnya Bulus Kuning dan Ikan Urip-urip. Bulus Kuning itu saya pernah diceritakan asal-usulnya. Tapi kalau Ikan Urip-urip ini yang masih teringat dibenak saya. Dahulu juru masak Sultan Agung membuat lauk berbahan ikan yang sangat lezat, saking lezatnya sang sultan memanggil juru masaknya, ketika ditanya apa nama menu olahan ikan tersebut, dijawabnya diolah dengan bumbu urip-urip yang artinya hidup. Kemudian Sultan pun mengulanginya “Urip-Urip” dan seketika ikan yang hanya tersisa tulang belulang tersebut menjadi hidup kembali, karena konon kebanyakan pemimpin pada masa lalu memiliki kelebihan-kelebihan serta karomah yang diberikan Tuhan. Lalu dipeliharalah ikan itu di kolam dekat komplek Masjid Agung. Namun, hanya orang yang sudah menjalani ‘laku tirakat’ sajalah yang mampu melihat, bukan dengan ‘mata telanjang’, karena kedua binatang tersebut sudah dighaibkan.


*: http://id.wikipedia.org/wiki/Amangkurat_I
http://www.terrajawa.net/napaktilas_detail.php?artikel_id=64

Tiga Toko Batik Pilihan

Tiga Toko Batik Pilihan

banyankalpataru.blogspot.com


1. Batik Terang Bulan

Alamat: Jalan Jendral A. Yani 108 (d/h 76) Selatan Kepatihan

Toko batik yang satu ini sudah berdiri di Jogja sejak tahun 1942. Memiliki banyak sekali produk batik yang dapat dibilang cukup konvensional. Penulis memilih Terang Bulan sebagai salah satu dari ketika toko batik yang mampu bertahan hingga saat ini.

2. Batik Mataram

Alamat: Jalan Malioboro (Seberang Mall Malioboro)

Jl. Suryadiningratan No. 20 Yogyakarta

Toko batik ini menjadi pilihan penulis, karena tempatnya yang nyaman di tengah hiruk-pikuk Malioboro, kualitas batik yang dapat dipertanggungjawabkan, design yang baik, elegan, dan terbatas sehingga sangat meminimalkan ada kesamaan dengan pengguna lainnya.

3. Dagang Batik Ny. Hj. Soegeng

Alamat: Pasar Bringharjo Sayap Utara Los I

Los yang satu ini, penulis jadikan pilihan dari sekian banyak pedagang batik di Pasar Bringharjo karena masih tetap menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan seniman konservatif. Jadi, ketika membutuhkan motif parang gendreh garudo, parang barong garudo, atau kain-kain yang digunakan untuk bermacam rangakaian upacara tradisional masih dapat kita temui disini. Maka tidak ada salahnya kalau penulis memilihnya sebagai salah satu dari ketiga pilihan batik tersebut.

3.18.2011

Imogiri, 'Peristirahatan' Berpeluk Kabut



Imogiri, komplek pemakaman Raja-Raja Mataram, bersemayam kokoh diatas perbukitan di selatan Kota Yogyakarta. Imogiri yang berarti gunung berkabut, memang saya menyaksikannya sendiri, bagaimana kabut mengelilinginya. Panorama yang tidak dapat saya lukiskan.


Awalnya saya ditawari untuk naik melalui sisi terdekat dari komplek pemakaman, tapi saya menolak, dengan alasan ingin napak tilas, juga menikmati segala keindahan yang disuguhkan dari bukit ini. Memang untuk memasuki komplek pemakaman terdapat dua akses. Pertama, melalui jalur konvensional, yaitu benar-benar merasakan jerih payah dalam mendaki ratusan anak tangga yang tergelar menuju ke komplek pemakaman. Atau jalur alternatif yang kendaraan dapat langsung parkir disebelah komplek pemakaman. Biasanya jalur ini juga sering digunakan oleh peziarah yang sudah lanjut usia.


Udara yang sejuk dan ditemani kicauan bermacam jenis burung-burung hutan (karena bukit ini juga dilindungi ekosistemnya oleh Kementrian Kehutanan), menemani saya yang sedang mendaki, sehingga sampai ke pemakaman tanpa terasa. Yang saya rasakan, ketika ingin berganti baju peranakan (baju dinas terbuat dari kain lurik biru berselang hitam yang biasa dipakai oleh abdidalem Kraton Yogyakarta, yang konon merupakan baju kesukaan Sunan Kalijaga), keringat keluar deras tanpa henti, sampai beberapa saat saya harus mengkipasi tubuh saya. Saya jadi sempat berpikir kalau tangga-tangga itu bisa menjadi alternatif untuk latihan cardio, alias pas buat yang ingin membakar kalori.

Pemandangan dari Imogiri

Memasuki bilik pertama atau yang sering disebut bangsal kasultanagungan yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Sultan Agung (1593-1645) yang dijaga oleh abdidalem dari dua istana, Yogyakarta dan Surakarta. Disana sangat pantas untuk me-recharge semangat hidup seperti bagaimana perjuangan beliau memperjuangkan tanah Jawa lepas dari cengkraman Kolonial.


Bagi saya tentang perjalanan hidup Sultan Agung yang menarik adalah ketika beliau tetap gigih sampai ‘titik nol’ dan pelajaran nothing impossible at the future, ketika harus mendapati lumbung perbekalan di bakar oleh pihak VOC, sehingga banyak prajurit yang tewas akibat kekurangan perbekalan, dan beliau membalasnya dengan melemparkan mayat-mayat korban perang kedalam sungai-sungai yang melewati Batavia, sehingga disana muncul wabah kolera yang bahkan Gubernur Jendral VOC saat itu J.P. Coen harus meninggal dalam wabah itu. Jadi dapat dikabilang kalau perang merebut Batavia, Mataram tidak kalah telak alias zero-zero.


Persis di samping makam beliau terdapat lantai yang mengeluarkan aroma wangi. Wanginya seperti wangi mawar segar, tapi tidak membuat pusing, tadinya saya sempat tidak begitu percaya tapi kenyataannya memang seperti itu. Dipercaya bahwa di lantai itulah jasad beliau disemayamkan, guna mengecoh bagi siapa saja yang ingin membongkar makam tersebut, dan memang saya akui memang wangi. Bangsal tersebut di makamkan juga permaisuri beliau Ratu Batang dan cucu beliau Amangkurat Amral dan Amangkurat Mas. Jadi saya sempatkan juga menziarahi beliau-beliau.


Berikutnya saya menziarahi tiga raja-raja terakhir Keraton Yogyakarta, yakni; Hamengku Buawana VII, VIII, dan IX. Pada masa Hamengku Buwana VIII lah tari jawa klasik gaya Yogyakarta mengalami ‘masa keemasannya’. Beliau mengijinkan tarian diajarkan diluar tembok keraton, pakem-pakem diperjelas, pembuatan kostum yang kemudian dibakukan, dan masih banyak lagi.


Kalau Sri Sultan Hamengku Buwana IX tidak diragukan lagi ketenarannya. Banyak sekali jasa-jasa beliau yang masih dapat kita kenang hingga saat ini. Menjadi wakil presiden pada masa Presiden Suharto, Menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan, Beliau juga yang mencetuskan masuknya Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia.


Memang butuh tenaga ekstra untuk menziarahi seluruh makam tersebut, karena selain memang harus menghadapi medan yang tinggi, namun juga siap uang pecahan yang digunakan untuk menyumbang dana pengabdian para abdi dalem. Karena hampir disetiap tempat akan disediakan tempat untuk meletakan sumbangan tersebut.


Selanjutnya saya menziarahi almarhum Pakubuwana I dan Amangkurat Jawi. Makam beliau-beliau ini masih dijaga oleh para abdidalem dari dua keraton. Uniknya begitu saya mau berziarah, ternyata pintunya dikunci oleh dua gembok tua (yang bentuk gemuk, dan kuncinya sebesar jempol orang dewasa), jadi ketika saya harus masuk ada abdidalem dari keraton Jogja dan Solo yang mendampingi saya.


Begitu memasuki bilik pusara Pakubuwana I, yang kuncinya dipegang oleh abdidalem asal keraton Jogja. Suasana yang hampir sama dengan makam-makam yang lain, ditutupi kelambu, dan sumber sinar berasal dari sebatang lilin. Selesai berziarah, saya menuju senthong(bilik atau kamar tengah di dalam rumah adapt jawa) tempat pusara Amangkurat Jawi berada, dan saya pun berziarah disana.


Setelah itu saya mengakhiri perjalanan ziarah saya di Pajimatan Imogiri ini dengan membaca qasidah penutup yang diciptakan oleh seorang ulama dari Hadramaut, yang intinya mendoakan akan kebahagian bagi mereka yang kita ziarahi. Ada kepuasan tersendiri dalam diri saya bisa meluangkan waktu untuk mengunjungi Imogiri dan ajimumpung saya masih di Jogja, makanya sayang sekali untuk dilewatkan.


Selama berziarah saya tidak sendiri, ada beberapa kelompok dari wisatawan asing dan pegawai Sekolah Polisi di daerah Banyubiru, dan mereka tetap harus menggunakan busana wajib untuk berziarah. Bagi saya melihat mereka terkesan unik, mungkin karena bukan pakaian dinas kesehariannya.



Begitu meninggalkan saya sempatkan untuk membeli ‘minuman sampah’ khas Imogiri atau yang dikenal sebagai Wedang Uwoh. Bukan berarti sampah beneran, tapi karena bahan bakunya yang mudah diperoleh di hutan sekitar makam, kalau digabungkan seperti segenggam sampah, tapi untuk masalah rasa tidak diragukan lagi bagi pecinta minuman herbal tradisional, rasa hangat segera menjalar ke seluruh tubuh.


2.23.2011

Secuil tentang LANGENDRIYAN dan LANGEN MANDRA WANARAN

Langendriyan yang menceritakan tentang cerita Panji dan Langen Mandra Wanaran atau Langen Wandra Wanaran yang mengambil cerita dari epos Ramayana, keduanya ditarikan dengan cara yang sangat unik. Ciri khasnya yang paling umum adalah cara menarikan dengan sikap njengkeng, juga setiap lakon saling bercakap dengan cara menembang.
Tentang kedua jenis tarian ini, Romo Hartanto bercerita begini, “Langendriyan dan Langenwandrawanaran itu mengambil cerita dari kisah Panji dan cerita Ramayana. Wanaran itu berarti monyet, yang identik dengan Hanoman. Keduanya ditarikan dengan cara njengkeng (sikap setengah berdiri-lebih rendah dibandingkan mendak).”.
“Namun perbedaan akan keduanya dapt dilihat dari bentuknya ketika dalam posisi njengkeng. Kalau Langenwandrawanaran, lutut boleh menyentuh lantai, sedangkan Langendriyan itu sangat dilarang lutut menyentuh lantai. Keduanya ditarikan dengan cara menembang” Romo Hartanto melanjutkan.

Menurut Romo Hartanto juga, Kedua tarian ini diciptakan di Bangsal Kepatihan (sekarang menjadi kantor gubernur). Ketika itu Patih Danureja juga menaruh perhatian pada seni, maka beliau menciptakan kedua tarian tersebut. Pada awalnya kesenian ini bukan dalam bentuk tarian. Jadi, sekelompok orang di pendopo membaca dengan menembangkan serat-serat, dengan format seperti orang bergiliran melakukan kegiatan Sema’an Quran. Namun, dengan seiringnya berjalannya waktu, mereka mencoba melakukannya dengan tarian. Dengan dalih untuk menjaga kewibawaan Sri Sultan Hamengku Buwana yang bersinggasana di Siti Hinggil Keraton Yogyakarta, maka kedua semua tarian itu ditarikan dengan posisi njengkeng.
“Kecuali ketika ada adegan terbang, ya berdiri” Romo Hartanto menjelaskan sambil mencontohkan cara terbangnya dalam posisi nyamber.

Sedangkan menurut Mas Agung Tatok, ia bercerita kalau tarian itu awal mulanya diciptakan di Ndalem Kaneman. Jaman dahulu, karena selama bulan Ramadhan ada aturan bahwa semua kegiatan seni dihentikan dalam lingkungan Njeron Benteng. Namun seniman-seniman setempat (mungkin, karena sudah menjadi hobi dan mengisi waktu luang-membunuh sepi) mengakalinya dengan membuatnya semua tarian dimainkan dengan posisi njengkeng agar tidak bermaksud melawan parentah ndalem (peraturan dari Sultan). Juga berdialog dengan menembang.
Awal mulanya terjadinya kedua wayang ini sama seperti apa yang dikemukakan Romo Hartanto diatas. Awalnya hanya sekelompok orang yang jenuh menembangkan serat-serat¬ maka mereka variasikan dengan gerakan tari.

Tapi menurut Mas Alin (Putra dari Romo Sasminta Mardawa) menjelaskan ketika saya selesai berlatih tari, bahwa Langendriyan itu cendrung dikembangkan oleh Solo, sedangkan khasnya dari Jogja itu Langenwandrawanaran. Keduanya dilakukan dengan posisi njengkeng dan menembang. Memang seperti beberapa Serat Langendriyan yang Mbak Fira Basuki pinjamkan kepada saya kebanyakan ceritanya bersumber dari daerah Solo.

1.20.2011

KEMBANG KEMPIS NAFAS JOGED MATARAM

Ada sebuah rasa mengganjal setelah beberapa bulan menjalani latihan tari dibawah asuhan keluarga besar Ndlem Kaneman dan Ndalem Pujokusuman, khususnya Mas Agung ‘Tatok’, Mas Alin dan Bapak Toro. Seperti memiliki rasa hutang budi. Memang ada keinginan bagi saya untuk suatu hari nanti memberikan penghargaan bagi mereka, bukan hanya Mas Tatok atau Bapak Toro, melainkan seluruh keluarga penari jawa tradisional, khususnya dalam lingkungan Pujokusuman dan Kaneman.

Ndalem Kaneman yang diceritakan oleh Mbah Putri pernah mendiami komplek tersebut sebagai kos selama beliau mengenyam pendidikannya di Jogja, adalah kediaman dari kerabat Sultan Hamengku Buwana, yang sekarang didalamnya didiami oleh beberapa kepala keluarga. Pendopo utama yang memiliki enam soko guru pohon jati terlihat begitu sederhana, dibawahnya beraktifitas perguruan tari Siswa Among Beksa.
Saya kaget ketika mendengar bahwa biaya spp Rp 15.000,00 per bulan, makalah bagi saya tidaklah mahal apabila harga untuk privat setiap satu kali pertemuan (2 jam), ditanggung dengan biaya Rp 50.000,00 saja. Bagi yang menganggap itu terlalu mahal, ya terserah. Tapi yang menjadi kendala akan kemunduruan akan tari tradisional salah satunya adalah factor ekonomi. Berbeda dengan jaman dahulu bagi mereka yang dapat menari maka akan dijadikan pegawai tetap dalam tatanan keraton.

Tapi saya menaruh rasa hormat dan kagum terhadap Mas Roso, seorang designer muda, yang masih mau belajar tari di Pujokusuman. Kemudian ketika dirasa ia cukup dapat mementaskannya, kemudian ia mengadakan ‘syukuran’ dengan mentraktir tamu pada ‘wisuda’nya bakso soto, dan jajanan pasar.

Bukan hanya itu saja, karena kebetulan itu adalah rangkaian acara ‘kumpul kangen’ beberapa orang yang pernah mendapat gemblengan di Pujokusuman. Maka tak ketinggalan Mas Gareth Kim, penari asal Jepang yang sekarang berdomisili di Bali, ikut menyuguhkan tarian kreasinya tanpa meninggalkan semua pakem ikut menyuguhkan tarian kreasinya tanpa meninggalkan pakem Gaya Jogja. Serta, tiga wanita cantik asal Jepang yang sekarang menjalani tahap pendidikannya di ISI Solo menarikan Golek Ayun-Ayun. Mereka bagi saya mungkin bisa dikatakan parasnya setaraf dengan (maaf) Miyabi, atau lebih tinggi.

Miris memang, ketika harus melihat kenyataan bahwa antusiasme akan budaya pribumi (kebanyakan) dimiliki oleh pendatang. Sudah banyak ‘omongan’ tentang bangsa ini (baca:Indonesia) yang sedang ‘menutup mata’ akan kemunduran budayanya sendiri. Dimana wacana perbandingan dengan negara lain sudah tidak mempan mungkin bagi bangsa yang ‘bebal’ akan sindiran-sindiran seperti itu.

Besar harapan saya, bagi yang telah membaca tulisan ini tersentuh untuk membantu para pelaku joged mataram. Baik badan, yayasan, atau langsung ke perorangan. Apapun yang pembaca lakukan pasti sangat bermanfaat, khususnya dalam pelestarian budaya. “hahhh… andai suatu hari nanti di setiap sudut Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat manusianya mampu melakukan Joged Mataram… Alangkah indahnya negeri itu”.

Pekalongan, 11.01.2011

Seperti angka keberuntungan bukan? 11.1.11 hehehe semoga hari ini dapat lebih baik dari kemarin. Baru saja saya selesai mandi, setelah mengawali pagi dengan pergi ke pasar dengan Mas Harsono, lalu kami melanjutkan traveling dadakan menuju klenteng tua di belakang Gereja Santo Petrus. Karena memang saya suka dengan sesuatu yang berbau kebudayaan juga sacral, saya memberanikan diri untuk masuk ke klenteng.

Sebelum masuk saya ragu, boleh masuk atau tidak. Tiba-tiba ada bapak tua keturunan tionghoa mempersilahkan kami masuk saja. Maka, langsung saya sambut ajakan beliau. Dalam klenteng terdapat tiga bilik utama, yaitu Bilik Dewi Kuan Im, Bilik Maha Dewa agama Tao, dan Bilik Dewa ‘Tuan Rumah’ Sang Dewa Pengobatan dan Dewa Perdagangan.

Saya banyak bertanya tentang terutama masalah peribadahan mereka. Mulai dari sebenernya dewa-dewi itu siapa, sampai bagaimana tatacara beribadah. Saya ikut melakukannya juga lho… hehehe… Bakar hio sampai meletakkan hio-hio itu di pedupaan. Benar-benar seperti orang sembahyang. Saya selama menjunjung hio berkata dalam hati, “Siapapun anda, anda adalah termasuk manusia yang mengubah dunia. Saya mengagumi dan menghormati anda.”.

Selepas dzuhur saya mengicipi rumah makan yang menjajakan masakan khas Pekalongan. Ada rawon pekalongan, pecel bakar (ikan laut bakar, kemudiandisakjikan diatas cobek berisi sambal mentah), dan sum-sum bakar yang lumer di mulut. Enak sekali.



Kami sowan ke kediaman Habib Muhammad di Jalan Progo, disana kami disuguhi kudapan salah satunya khas timur tengah yang menjadi favorit saya, yaitu Sambosak. Selain Habib Muh adalah seorang pengobat tradisional ia juga sebagai sufi sekaligus seniman. Habib Muh memiliki seperangkat gamelan bantuan dari Mas Afif Syakur (Subhanallah…). Ada perkataan yang paling berkesan yaitu,”Islam itu agama terbaik, tapi umatnya juaaahat.”. Bagi saya itu adalah pemikiran yang cerdas lho… hehehe.

Kemudian karena waktu menunjukan masih pukul empat sore, maka kami putuskan untuk menuju pantai pasir kencana. Karater pantai ini; jorok, kotor dan tidak terawat. Disamping juga cuaca akhir-akhir ini yang ekstrem, membuat angina begitu kencang. Ada yang menarik perhatian kami ketika ada sekelompok orang menjala ikan dan udang.

Lalu kami melanjutkan ke Pantai Slamaran, bagi saya pantai ini dapat saya katakan ‘mendingan’.
Sepertinya disana warga mulai sadar pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan mereka. Jadi sepanjang jalan selepas daerah Krapyak (kata Habib Muh, disini termasuk pemukiman yang banyak dihuni oleh marga Basyaiban). Namun, pesan saya bagi Pemda setempat, alangkah baiknya kalau tata ruang kota dipikirkan secara matang, Pekalongan memiliki potensi seperti Kota Singapura.