6.09.2012

es wäre schön, wenn Jogja... (Teil 1)

Jogja, saya harus banyak bersyukur kepada Allah, karena dalam urat nadi saya mengalir darah Jogja,
Jogja, itu hampir setiap tahunnya di masa kecil saya, saya selalu pulang-minimal lebaran. Bangku SMA saya tamatkan juga di Jogja. Saya mengiyakan jika jogja disebut sebagai kota pelajar dan budaya. Mir ist zufrieden... dikatakan puas ketika saya tinggal di jogja.
    
Tapi, keasyikan Jogja dimata saya agak mulai bergeser. Jogja pada masa saya kecil sekitar tahun 95'an terasa sangat sejuk, terasa dekat dengan alam, guyonan orang-orangnya juga benar-benar freundlich-asli dari dalam hati, dan lain sebagainya. Sekarang, kalau saya keluar dengan sepeda motor, jika saya tidak menggunakan (minimal) jaket, waduh... kulit akan sangat tersengat dari teriknya matahari.

Kalau saya perhatikan, angka kendaraan bermotor memang meningkat, saya tidak naif kalau saya sendiri punya sepeda motor bahkan orang tua memberikan saya fasilitas mobil. Namun disisi lain, saya juga muhassabah alias introspeksi juga, kenapa saya naik sepeda motor kenapa saya mengendarai mobil?, ya saya harus katakan, Jogja belum memiliki transportasi umum yang menawarkan kenyamanan dan keamanan, ketimbang ketika saya mengendarai kendaraan pribadi sendiri. 

Trans Jogja?, saya dukung itu, sepertinya semua orang akan berpikiran sama ya, kalau armada dan trayek dari Trans Jogja terus ditambah, Regel atau peraturan penggunaan transportasi umum (khususnya Trans Jogja) bagi saya sudah oke, seperti dilarang makan dan minum di dalam bis, ukuran bangku, serta sistem sirkulasi udara dan kebersihan (sebelum digunakan) sudah seperti di Jerman lho... (kebetulan saya sedang kuliah di Jerman).

Tapi kenapa saya tetap malas menggunakan Trans Jogja ya? mmm.... aha! ga tepat waktu.... sama kalau nunggu kadang bisa cepetan jalan ke tempat yang dituju ketimbang naik Trans Jogja... atau juga kendaraan umum lainnya-yang bisa mengangkut dan menurunkan penumpang seenaknya. Maaf, tapi saya tidak suka yang seperti itu. 

Terus males juga ngantrinya, gimana ya? sepertinya itu problem struktural, kebanyakan belum terbiasa berbudaya mengantri. Saya memang memberikan jarak antara saya dengan orang di depan saya, bertujuan untuk memberikan kenyamanan pribadi-seperti ketika ia akan mengeluarkan dompet, melihat layar telefon, dsb. karena saya juga tidak suka ada orang yang kepo alias ingin tau pada sesuatu yang tidak begitu penting untuk diketahui... ya tidak nyaman saja. Tapi kerenggangan tempat itu malah diserobot... hmmm... -_-'' Mas Ronggowarsito bener, yen tan ra melu edan ora keduman!.

Jadi, masalah saya sih itu saja, kalau hal-hal itu teratasi, pasti Jogja tetap selalu never ending Asia... sendirinya kalau transportasi umum sudah memenuhi standart berbagai lapisan, pasti banyak orang yang akan menggunakan, untung di rakyat, untung di pemerintah... hehehe..., tapi ga tau juga ya kalau pemerintah ada kongkalingkong...

Kalau di Trans Jogja ada Pak atau Bu kenek, yang selalu memberikan informasi, itu saya ga ada masalah, toh lapangan kerja di Jogja semakin luas.

Kalau ditanya saya di Jerman suka naik apa, saya suka naik sepeda... hehehe

Bersambung...