1.20.2011

Pekalongan, 11.01.2011

Seperti angka keberuntungan bukan? 11.1.11 hehehe semoga hari ini dapat lebih baik dari kemarin. Baru saja saya selesai mandi, setelah mengawali pagi dengan pergi ke pasar dengan Mas Harsono, lalu kami melanjutkan traveling dadakan menuju klenteng tua di belakang Gereja Santo Petrus. Karena memang saya suka dengan sesuatu yang berbau kebudayaan juga sacral, saya memberanikan diri untuk masuk ke klenteng.

Sebelum masuk saya ragu, boleh masuk atau tidak. Tiba-tiba ada bapak tua keturunan tionghoa mempersilahkan kami masuk saja. Maka, langsung saya sambut ajakan beliau. Dalam klenteng terdapat tiga bilik utama, yaitu Bilik Dewi Kuan Im, Bilik Maha Dewa agama Tao, dan Bilik Dewa ‘Tuan Rumah’ Sang Dewa Pengobatan dan Dewa Perdagangan.

Saya banyak bertanya tentang terutama masalah peribadahan mereka. Mulai dari sebenernya dewa-dewi itu siapa, sampai bagaimana tatacara beribadah. Saya ikut melakukannya juga lho… hehehe… Bakar hio sampai meletakkan hio-hio itu di pedupaan. Benar-benar seperti orang sembahyang. Saya selama menjunjung hio berkata dalam hati, “Siapapun anda, anda adalah termasuk manusia yang mengubah dunia. Saya mengagumi dan menghormati anda.”.

Selepas dzuhur saya mengicipi rumah makan yang menjajakan masakan khas Pekalongan. Ada rawon pekalongan, pecel bakar (ikan laut bakar, kemudiandisakjikan diatas cobek berisi sambal mentah), dan sum-sum bakar yang lumer di mulut. Enak sekali.



Kami sowan ke kediaman Habib Muhammad di Jalan Progo, disana kami disuguhi kudapan salah satunya khas timur tengah yang menjadi favorit saya, yaitu Sambosak. Selain Habib Muh adalah seorang pengobat tradisional ia juga sebagai sufi sekaligus seniman. Habib Muh memiliki seperangkat gamelan bantuan dari Mas Afif Syakur (Subhanallah…). Ada perkataan yang paling berkesan yaitu,”Islam itu agama terbaik, tapi umatnya juaaahat.”. Bagi saya itu adalah pemikiran yang cerdas lho… hehehe.

Kemudian karena waktu menunjukan masih pukul empat sore, maka kami putuskan untuk menuju pantai pasir kencana. Karater pantai ini; jorok, kotor dan tidak terawat. Disamping juga cuaca akhir-akhir ini yang ekstrem, membuat angina begitu kencang. Ada yang menarik perhatian kami ketika ada sekelompok orang menjala ikan dan udang.

Lalu kami melanjutkan ke Pantai Slamaran, bagi saya pantai ini dapat saya katakan ‘mendingan’.
Sepertinya disana warga mulai sadar pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan mereka. Jadi sepanjang jalan selepas daerah Krapyak (kata Habib Muh, disini termasuk pemukiman yang banyak dihuni oleh marga Basyaiban). Namun, pesan saya bagi Pemda setempat, alangkah baiknya kalau tata ruang kota dipikirkan secara matang, Pekalongan memiliki potensi seperti Kota Singapura.

No comments:

Post a Comment