1.20.2011

KEMBANG KEMPIS NAFAS JOGED MATARAM

Ada sebuah rasa mengganjal setelah beberapa bulan menjalani latihan tari dibawah asuhan keluarga besar Ndlem Kaneman dan Ndalem Pujokusuman, khususnya Mas Agung ‘Tatok’, Mas Alin dan Bapak Toro. Seperti memiliki rasa hutang budi. Memang ada keinginan bagi saya untuk suatu hari nanti memberikan penghargaan bagi mereka, bukan hanya Mas Tatok atau Bapak Toro, melainkan seluruh keluarga penari jawa tradisional, khususnya dalam lingkungan Pujokusuman dan Kaneman.

Ndalem Kaneman yang diceritakan oleh Mbah Putri pernah mendiami komplek tersebut sebagai kos selama beliau mengenyam pendidikannya di Jogja, adalah kediaman dari kerabat Sultan Hamengku Buwana, yang sekarang didalamnya didiami oleh beberapa kepala keluarga. Pendopo utama yang memiliki enam soko guru pohon jati terlihat begitu sederhana, dibawahnya beraktifitas perguruan tari Siswa Among Beksa.
Saya kaget ketika mendengar bahwa biaya spp Rp 15.000,00 per bulan, makalah bagi saya tidaklah mahal apabila harga untuk privat setiap satu kali pertemuan (2 jam), ditanggung dengan biaya Rp 50.000,00 saja. Bagi yang menganggap itu terlalu mahal, ya terserah. Tapi yang menjadi kendala akan kemunduruan akan tari tradisional salah satunya adalah factor ekonomi. Berbeda dengan jaman dahulu bagi mereka yang dapat menari maka akan dijadikan pegawai tetap dalam tatanan keraton.

Tapi saya menaruh rasa hormat dan kagum terhadap Mas Roso, seorang designer muda, yang masih mau belajar tari di Pujokusuman. Kemudian ketika dirasa ia cukup dapat mementaskannya, kemudian ia mengadakan ‘syukuran’ dengan mentraktir tamu pada ‘wisuda’nya bakso soto, dan jajanan pasar.

Bukan hanya itu saja, karena kebetulan itu adalah rangkaian acara ‘kumpul kangen’ beberapa orang yang pernah mendapat gemblengan di Pujokusuman. Maka tak ketinggalan Mas Gareth Kim, penari asal Jepang yang sekarang berdomisili di Bali, ikut menyuguhkan tarian kreasinya tanpa meninggalkan semua pakem ikut menyuguhkan tarian kreasinya tanpa meninggalkan pakem Gaya Jogja. Serta, tiga wanita cantik asal Jepang yang sekarang menjalani tahap pendidikannya di ISI Solo menarikan Golek Ayun-Ayun. Mereka bagi saya mungkin bisa dikatakan parasnya setaraf dengan (maaf) Miyabi, atau lebih tinggi.

Miris memang, ketika harus melihat kenyataan bahwa antusiasme akan budaya pribumi (kebanyakan) dimiliki oleh pendatang. Sudah banyak ‘omongan’ tentang bangsa ini (baca:Indonesia) yang sedang ‘menutup mata’ akan kemunduran budayanya sendiri. Dimana wacana perbandingan dengan negara lain sudah tidak mempan mungkin bagi bangsa yang ‘bebal’ akan sindiran-sindiran seperti itu.

Besar harapan saya, bagi yang telah membaca tulisan ini tersentuh untuk membantu para pelaku joged mataram. Baik badan, yayasan, atau langsung ke perorangan. Apapun yang pembaca lakukan pasti sangat bermanfaat, khususnya dalam pelestarian budaya. “hahhh… andai suatu hari nanti di setiap sudut Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat manusianya mampu melakukan Joged Mataram… Alangkah indahnya negeri itu”.

Pekalongan, 11.01.2011

Seperti angka keberuntungan bukan? 11.1.11 hehehe semoga hari ini dapat lebih baik dari kemarin. Baru saja saya selesai mandi, setelah mengawali pagi dengan pergi ke pasar dengan Mas Harsono, lalu kami melanjutkan traveling dadakan menuju klenteng tua di belakang Gereja Santo Petrus. Karena memang saya suka dengan sesuatu yang berbau kebudayaan juga sacral, saya memberanikan diri untuk masuk ke klenteng.

Sebelum masuk saya ragu, boleh masuk atau tidak. Tiba-tiba ada bapak tua keturunan tionghoa mempersilahkan kami masuk saja. Maka, langsung saya sambut ajakan beliau. Dalam klenteng terdapat tiga bilik utama, yaitu Bilik Dewi Kuan Im, Bilik Maha Dewa agama Tao, dan Bilik Dewa ‘Tuan Rumah’ Sang Dewa Pengobatan dan Dewa Perdagangan.

Saya banyak bertanya tentang terutama masalah peribadahan mereka. Mulai dari sebenernya dewa-dewi itu siapa, sampai bagaimana tatacara beribadah. Saya ikut melakukannya juga lho… hehehe… Bakar hio sampai meletakkan hio-hio itu di pedupaan. Benar-benar seperti orang sembahyang. Saya selama menjunjung hio berkata dalam hati, “Siapapun anda, anda adalah termasuk manusia yang mengubah dunia. Saya mengagumi dan menghormati anda.”.

Selepas dzuhur saya mengicipi rumah makan yang menjajakan masakan khas Pekalongan. Ada rawon pekalongan, pecel bakar (ikan laut bakar, kemudiandisakjikan diatas cobek berisi sambal mentah), dan sum-sum bakar yang lumer di mulut. Enak sekali.



Kami sowan ke kediaman Habib Muhammad di Jalan Progo, disana kami disuguhi kudapan salah satunya khas timur tengah yang menjadi favorit saya, yaitu Sambosak. Selain Habib Muh adalah seorang pengobat tradisional ia juga sebagai sufi sekaligus seniman. Habib Muh memiliki seperangkat gamelan bantuan dari Mas Afif Syakur (Subhanallah…). Ada perkataan yang paling berkesan yaitu,”Islam itu agama terbaik, tapi umatnya juaaahat.”. Bagi saya itu adalah pemikiran yang cerdas lho… hehehe.

Kemudian karena waktu menunjukan masih pukul empat sore, maka kami putuskan untuk menuju pantai pasir kencana. Karater pantai ini; jorok, kotor dan tidak terawat. Disamping juga cuaca akhir-akhir ini yang ekstrem, membuat angina begitu kencang. Ada yang menarik perhatian kami ketika ada sekelompok orang menjala ikan dan udang.

Lalu kami melanjutkan ke Pantai Slamaran, bagi saya pantai ini dapat saya katakan ‘mendingan’.
Sepertinya disana warga mulai sadar pentingnya hutan mangrove bagi kehidupan mereka. Jadi sepanjang jalan selepas daerah Krapyak (kata Habib Muh, disini termasuk pemukiman yang banyak dihuni oleh marga Basyaiban). Namun, pesan saya bagi Pemda setempat, alangkah baiknya kalau tata ruang kota dipikirkan secara matang, Pekalongan memiliki potensi seperti Kota Singapura.