5.23.2011

CIREBON… I’m Melting! (PART II)

CIREBON… I’m Melting!

*ilfil juga sih*

(PART II)

Selanjutnya, ada lagi yang patut di coba yaitu makan nasi jamblang (bahasa kerennya abg Cirebon: nge-jam alias ngejamblang -----> *e buset*) nah kami diajang Kang Johan buat makan di salah satu kedai nasi jamblang yang ramenya bukan main, jangan harap ada meja disana, yang ada Cuma bangku ditata sedemikian rupa, persis seperti susunan bangku antri bayar listrik. Cara pembayaran disana adalah bermodalkan jujur ketika ngaku di kasir.

Kemudian ada lagi tempat nasi jamblang yang enak, yaitu Nasi Jamblang Dermaga, letaknya persis di dermaga pelabuhan Cirebon, kalau ini saya akui lebih enak rasanya (harganya juga hehehe) hemmm sayur cumi setinta-tintanya… astaga… enak buanget…! Gigi orang aja bisa sama bulugnya.

Sepertinya tentang nasi jamblang, begitu juga dengan empal gentong. Empal gentong petama dan terenak yang saya coba adalah di pinggir jalan ke Goa Sunyaragi, depan sebuah SD di selatan kota Cirebon. Bumbunya yang kuat ditambah dengan perasan jeruk nipis membuat empal gentong memiliki rasa juicy yang khas.

Kerupuk melarat, siapa yang ga tau dengan kerupuk yang diolah hanya menggunakan pasir, tanpa minyak. Maka itulah kerupuk itu disebut kerupuk melarat. Hehehe.

Selanjutnya sore ketika saya harus berpisah dari Cosmomen 2010, saya melajutkan untuk pergi berziarah ke makam Sunan Gunungjati. Lokasinya tidak begitu jauh dari kota Cirebon, begitu sampai saya terkejut dengan perilaku para peminta-minta dan warga yang mengaku sebagai ‘pengurus’ makam yang terkesan kasar dan memaksa dalam meminta sumbangan.

Namun untungnya ketika saya hendak masuk, ternyata ada rombongan peziarah dari daerah jawa tengah yang hendak masuk, maka saya ikut menyelinap diantara rombongan tersebut. Jadi, tidak terlalu pusing dalam menangani keributan orang-orang yang mengaku dari mulai menjadi tukang kebersihan sampai tukang ledeng kali ya.

Sesampainya saya di pintu pasujudan disana ada rombongan yang memulai tahlil, irama-irama sholawat dan doa yang tidak asing ditelinga saya, berkumandang dengan semangat, para pemimpin peziarah sering menjelaskan kepada rombongannya, agar tidak meminta sesuatu kepada sang Sunan, tapi beliau kita minta sebagai wasilah atau perantara agar mau memintakan hajat kepada Allah swt. Juga berterimakasih kepada sang Sunan, karena perjuangan beliaulah islam dapat sampai di bumi nusantara ini.

Tidak lama di tengah rombongan di depan saya bertahlil, datang rombongan lainnya dengan nada sholawat, tahlil yang berbeda, sama semangatnya. Akhir gemuruh kumandang doa dalam area pemakaman tersebut menjadi bergelora.

Hal itu mengingatkan saya, ketika di Kairo dulu, dimana ketika berziarah banyak tarekat-tarekat sufi dengan gaya dan zikirnya berbeda namun isi dan tujuannya sama berkumandang di area Sayidah Zaenab. Pengalaman yang menarik bagi saya melihat fenomena itu. Namun, tidak ada satu pun yang ricuh.

Ada bengunan serupa seperti bangunan pusaranya Sunan Gunungjati. Tepat disebelah kirinya, tapi yang mencolok adalah dominasi warna merah, saya langsung tebak ini adalah bangunan pusara istri sang Sunan yang berdarah Tiong Hoa, tidak heran kalau di depannya ada tempat meletakan hio dan pembakar kertas doa seperti di klenteng.

Perbedaan yang timpang disaat makam sang Sunan penuh sesak jamaah, di makam istri beliau keheningan meliputi bangunan ini, bagi saya tidak ada kesan angker.

Begitu keluar dari area makam, tiba-tiba ada seorang yang menghampiri saya sambil membawa keranjang seperti keranjang pencuci sayur tepatnya), yang pastinya untuk meminta, dia mengucapkan,”saya belum…”

waaa… capek deh!!!*

*: mau pulang pake apa gue?!, orang travel buat balik ke jogja aja belum kebayar.