9.23.2012

Trier, Riwayatmu Dulu


Dengan Jerman, pikiran akan selalu tertambat akan Berlin, Frankfurt, dan FC Bayern-München-nya. Tapi menjelajah Jerman tidak akan ada pernah habisnya. Salah satunya dengan mengunjungi Trier. Kota yang terletak di negara bagian Rheinland-Pfalz yang dibelah tiga urat sungai: Saar, Mosel, dan Ruwer, menjadi anugrah yang selalu mengalirkan ceritanya sepanjang hayat.


Menara Rathaus dari Kejauhan 

Dibangun pada abad 15 sebelum Masehi oleh Kaisar Augustus, Trier, yang diambil dari kata Trever, atau salah satu percabangan suku Kelt yang masyhur akan peradabannya di masa lampau. Sang Kaisar tidak sekedar menjadikan kota ini menjadi daerah taklukan semata, melainkan juga sebagai salah satu tapal batas dari Kekaisaran Romawi pada utara pegunungan Alpen.
            
Bangunan terlama adalah Porta Nigra, Die Schwarze Tor, atau Gerbang Hitam dalam bahasa Indonesia, menjadi titik ukur sejarah kota itu sendiri. Gerbang ini memiliki fungsi utama sebagai pintu masuk utama dan pertahanan terpenting dari Kota itu sendiri. Dulunya gerbang ini berwarna putih, namun akibat dimakan oleh sang waktu dan debu, lama-kelamaan warna putih itu berubah menjadi hitam.
      
Gerbang ini pula berperan sebagai saksi bisu peradaban dunia, pada abad pertengahan, sang pendeta Simeon mengubah si gerbang menjadi Gereja, maka tidak heran jika sisa dekorasi yang terinspirasi dari gambaran surge dalam injil masih tertambat pada dinding-dinding dalam Porta Nigra.


Kesyahduan Porta Nigra berbalut jubah gerejawi, runtuh disaat Napoleon Bonaparte menginvasi daerah timur perancis, penyekularan negara, karena dibayangi kekhawatiran atas “saingan” dari Tanah Suci Vatikan, mengembalikan bentuk si gerbang hampir kepada aslinya, alias dibongkar, lalu dicampakan begitu saja saat sang panglima melanjutkan invasinya ke tanah raja-raja Timur.
      
Sangat beruntung sang Porta Nigra, selamat dari ganans Perang Dunia I dan II. Sehingga wiasatawan masih dapat menyaksikan keindahan dan keagungan pengaruh kekuasaan Kekaisaran Romawi di tanah Barbarrosa yang agung. Bahkan wisatawan dapat menyaksikan panorama sekeliling kota Trier dari tingkat paling atas dari Porta Nigra.
            
Kekhasan dari Trier adalah, Wine jenis Rieslingnya, ciri-ciri dari wine jenis ini adalah rasanya yang terasa fruity, karena dibuat dari fase kematangan anggur yang paling awal. Paling mantap kalau makan siang disekitar Basilika kota dengan segelas Reisling, makanan kalau menurut saya sih tidak ada perbedaan besar dengan gastronomie pada kota-kota daerah Pfalz.
           
Tadi saya menyebutkan sebuah Basilika nama lengkapnya Konstantin-Basilika, salah satu fungsi basilika adalah sebuah bangunan tempat dimana Kaisar bertemu dengan para duta besar dari negara-negara sahabat. Seiring berjalannya waktu, basilika ini berubah fungsi menjadi gereja. Menurut si ibu penjaga dagangan souvenir, dulu sebelum ada altar disitulah singgasana sang kaisar bertahta.

Patron Pelindung Trier

Tepat di sebelah Basilika terhampar istana beserta taman bernuansa rokoko (sekitar abad ke-18). Istana itu menjadi tempat kediaman para Archbischop atau Uskup Agung yang memimpin kota Trier. Begitu pula dengan tamannya yang dibuka untuk umum. Sangat luas dan sangat indah.
            
Kathedralnya juga menjadi ikon penting dari Trier, disana terdapat jubah dari Jesus Kristus… Kathedral ini sudah beberapa kali mengalami pemugaran, namun bentuk arsitektur romawinya masih sangat terlihat. Kalau didalamnya jangan kaget, seluruh langit-langitnya behias lukisan-lukisan juga patung-patung berceritakan tentang kehidupan setelah hari kiamat.
            
Di bawah kathedral terdapat sekitar 6 makam dari uskup-uskup terdahulu. Jangan khawatir, tidak ada kesan angker di dalamnya. Sebelum masuk makam, terapat prasasti hitam yang terukir para Uskup yang telah memimpin kota Trier. Di sisi lainnya juga terdapat ruang penyimpanan minyak untuk pengurapan, di ruang tengahnya terdapat kapel kecil, adaa beberapa peziarah yang berdoa disini.
            
Antara Rathaus (Balai Kota) dengan Kathedral memiliki cerita tersendiri. Antara pemimpin keagaman dan pemerintahan pernah terjadi perselisihan. Sehingga diantara mereka saling berlomba mendirikan menara jam, yang tertinggilah itu yang menang, karena baik dari pihak rohaniawan maupun pemerintahan tidak ada yang mau kalah gengsi.
            
Antara Rathaus dan Kathedral terhampar Marktplatz, atau mungkin dapat disebut alun-alun kota, pada hari-hari tertentu akan dijumpai pasar tradisional, yang dimana pembeli dapat menawar harga kepada penjual. Barang-barang dagangannya pun produk lokal, dan tentunya sangat segar. Begitupun jika jadwal pasar tutup, pedagang akan menjual dagangannya dengana harga miring.
            
Di atas Marktplatz terdapat pula air mancur bersejarah yang di atasnya terpahat patung-patung jenaka, seperti monyet-monyet, juga dua dewi anggur yang membawa kendi air, menurut mitologi setempat, memang sejak jaman dulu dunia kesehatan telah mewanti-wanti peminum alcohol agar selalu dapat menahan diri, begitupun agar jangan lupa minum air putih.

6.09.2012

es wäre schön, wenn Jogja... (Teil 1)

Jogja, saya harus banyak bersyukur kepada Allah, karena dalam urat nadi saya mengalir darah Jogja,
Jogja, itu hampir setiap tahunnya di masa kecil saya, saya selalu pulang-minimal lebaran. Bangku SMA saya tamatkan juga di Jogja. Saya mengiyakan jika jogja disebut sebagai kota pelajar dan budaya. Mir ist zufrieden... dikatakan puas ketika saya tinggal di jogja.
    
Tapi, keasyikan Jogja dimata saya agak mulai bergeser. Jogja pada masa saya kecil sekitar tahun 95'an terasa sangat sejuk, terasa dekat dengan alam, guyonan orang-orangnya juga benar-benar freundlich-asli dari dalam hati, dan lain sebagainya. Sekarang, kalau saya keluar dengan sepeda motor, jika saya tidak menggunakan (minimal) jaket, waduh... kulit akan sangat tersengat dari teriknya matahari.

Kalau saya perhatikan, angka kendaraan bermotor memang meningkat, saya tidak naif kalau saya sendiri punya sepeda motor bahkan orang tua memberikan saya fasilitas mobil. Namun disisi lain, saya juga muhassabah alias introspeksi juga, kenapa saya naik sepeda motor kenapa saya mengendarai mobil?, ya saya harus katakan, Jogja belum memiliki transportasi umum yang menawarkan kenyamanan dan keamanan, ketimbang ketika saya mengendarai kendaraan pribadi sendiri. 

Trans Jogja?, saya dukung itu, sepertinya semua orang akan berpikiran sama ya, kalau armada dan trayek dari Trans Jogja terus ditambah, Regel atau peraturan penggunaan transportasi umum (khususnya Trans Jogja) bagi saya sudah oke, seperti dilarang makan dan minum di dalam bis, ukuran bangku, serta sistem sirkulasi udara dan kebersihan (sebelum digunakan) sudah seperti di Jerman lho... (kebetulan saya sedang kuliah di Jerman).

Tapi kenapa saya tetap malas menggunakan Trans Jogja ya? mmm.... aha! ga tepat waktu.... sama kalau nunggu kadang bisa cepetan jalan ke tempat yang dituju ketimbang naik Trans Jogja... atau juga kendaraan umum lainnya-yang bisa mengangkut dan menurunkan penumpang seenaknya. Maaf, tapi saya tidak suka yang seperti itu. 

Terus males juga ngantrinya, gimana ya? sepertinya itu problem struktural, kebanyakan belum terbiasa berbudaya mengantri. Saya memang memberikan jarak antara saya dengan orang di depan saya, bertujuan untuk memberikan kenyamanan pribadi-seperti ketika ia akan mengeluarkan dompet, melihat layar telefon, dsb. karena saya juga tidak suka ada orang yang kepo alias ingin tau pada sesuatu yang tidak begitu penting untuk diketahui... ya tidak nyaman saja. Tapi kerenggangan tempat itu malah diserobot... hmmm... -_-'' Mas Ronggowarsito bener, yen tan ra melu edan ora keduman!.

Jadi, masalah saya sih itu saja, kalau hal-hal itu teratasi, pasti Jogja tetap selalu never ending Asia... sendirinya kalau transportasi umum sudah memenuhi standart berbagai lapisan, pasti banyak orang yang akan menggunakan, untung di rakyat, untung di pemerintah... hehehe..., tapi ga tau juga ya kalau pemerintah ada kongkalingkong...

Kalau di Trans Jogja ada Pak atau Bu kenek, yang selalu memberikan informasi, itu saya ga ada masalah, toh lapangan kerja di Jogja semakin luas.

Kalau ditanya saya di Jerman suka naik apa, saya suka naik sepeda... hehehe

Bersambung...

3.16.2012

Halo para pembaca setia dimana pun anda berada,
Kalau www.banyankalpataru.blogspot.com
sudah berganti nama menjadi www.pohonbanyan.blogspot.com.
Terima kasih dan selamat membaca


2.16.2012

Antara Pekalongan dengan Keris

Ini adalah perjalanan kedua kali saya ke kota Pekalongan. Kali ini saya menemani Bapak dalam acara peresmian Graha Tosan Aji Kota Pekalongan, karena saat ini Bapak adalah sekjen dari Sekretariat Perkerisan Nasional Indonesia (SNKI). SNKI itu sendiri menjadi wadah dan forum komunikasi masyarakat perkerisan di Indonesia yang ditangguhkan pada 24 Maret 2006 sebagai respon dari masyarakat perkerisan nusantara atas dikukuhkannya keris sebagai cagar budaya tak benda dari UNESCO. Saya beserta rombongan yang terdiri dari ketua SNKI yaitu Bapak Herman Sumarno (beliau sempat menjadi mentri SDM pada masa pemerintahan SBY jilid satu), penyanyi keroncong kondang Ibu Sundari Sukotjo yang beliu sekaligus menjadi public relation dari SNKI (belau tetap masih cantik), Mas Birul (wartawan majalah Keris), dan beberapa staff lainnya, jadi kami serombongan berjumlah 10 Orang. 


Kereta Argo Muria berangkat dari Stasiun Gambir pada jam setengah delapan, yang kemudian tiba di Pekalongan pada jam setengah satu siang, everything was ontime. Di Pekalongan kami menginap di wisma dinas milik pemerintah kota Pekalongan. Wisma tersebut mungkin untuk lingkup kota Pekalongan sudah termasuk rumah mewah sih. Jadwal pertama adalah kunjungan ke Museum Batik Pekalongan, di dalamnya mungkin hampir dapat saya katakan sama saja dengan museum batik yang ada di kota Solo. Dipandu langsung dari pihak museum, kita diajak berkeliling untuk lebih mengenal Batik Pekalongan yang menjadi salah satu jagoan dari pada golongan corak batik pesisiran. 




Tampak Depan Museum Batik Pekalongan

Ciri khas yang dapat simpulkan dari Batik Pekalongan dari sudut pandang saya adalah warnanya yang ‘kuat’ dan berani, seolah si pemakai siap untuk menjadi pusat perhatian dari khalayak. Jikalau warnanya tersebut terbuat dari pewarna alam, maka kesan vintage akan terlihat. Saya juga melihat kalau Batik Pekalongan sangat pas dengan kebaya encim. Hal itu terlihat dari contoh manekin yang terpajang di dalam museum. Dapat saya bayangkan bagaimana cantiknya gadis-gadis pekalongan dulu disaat mereka berlenggang menuju pasar menggunakan payung berbahan kertas, berlukis bunga warna-warni atau burung phoenix. Kulit-kulit mereka yang coklat melenggam karena terbakar matahri pesisir pantai, namun manis. Menjadikan kesan sangat ayu, lincah, dan memiliki eksotika tersendiri dalam benak saya. Ya… kemerdekaan jiwa wanita tergambar jelas melalui Batik Pekalongan. 


Disana kami diajak untuk melihat bagaimana proses pembuatan batik. Bukan cerita yang baru bagi saya untuk ini, karena saya pun sering meluangkan waktu saya jika di Indonesia dengan membatik. Bapak-bapak dalam rombongan ‘bergotong royong’ dalam membuat batik cap, sedangkan saya berserta Ibu Sundari, Ibu Ani, dan Mbak Syita membatik tulis.


Oh ya, saya perkenalkan dengan Bapak Goura, beliau adalah sosok pelaku dan pemerhati kebudayaan Indonesia asal Melbourne, Australia. Kehebatan belaiu akan kebudayaan Indonesia sudah diakui dimana-mana. Mendalang dan mocopatan menjadi keahliannya, Pengakuan Wayang, Batik, Angklung, Keris, dan Tari Saman dari UNESCO juga berhasil atas campur tangan beliau. Sosok yang tinggi, namun tetap bersahaja, vegetarian, dan yang terpenting njawani sangat terlihat sekali. 


Pada kesempatan kali ini beliau berhasil membuat kebanyakan masyarakat Indonesia malu dengan kebisaan beliau akan menembangkan Macapat. Beliau melakukannya pada saat sarasehan di malam sebelum acara peresmian. Kebetulan macapat kali ini ditembangkan untuk menasehati bapak saya hehehe. Pada malam sarasehan juga saya melihat seorang ibu bersedia menembang sebuah macapat yang biasanya syairnya dilantunkan ketika penjamasan sebuah pusaka. Mendadak ruangan tersebut begitu sunyi ketika tembang itu diperdengarkan. Isi dari tembang tersebut mengandung makna dari keadiluhungan tosan aji. 


Hari Sabtu, 14 Januari 2012 adalah hari peresmian dari Graha Tosan Aji Kota Pekalongan, serta pengukuhan paguyuban pecinta tosan aji di Kabupaten Pekalongan yang bernama Kendali Rangah, yang berarti pengendalian terhadap hawa nafsu jahat. Bapak Walikota rawuh sekaligus meresmikan Graha Tosan Aji Kota Pekalongan. Acara tersebut dimeriahkan oleh penamipilan dari beberapa grup keroncong, penampilan dari Ibu Sundari Sukotjo sendiri, Tari Keris, dan Drama fragmen kehidupan Mpu Suratman Ketip. Puncak acara adalah pembukaan Graha Tosan Aji Kota Pekalongan oleh Bapak Wali Kota Pekalongan. Gedung sederhana di lantai 2 menjadi wadah resmi dari para pecinta tosan aji. Sering Bapak Wali Kota mengingatkan agar terus untuk melestarikan kebudayaan bangsa ini, khususnya dalam kesempatan ini adalah keris. Dengan terbelahnya rangkaian bunga melati di depan regol masuk Graha Tosan Aji, maka berakhirlah sudah acara tersebut, disamping itu, diperlihatkan juga kepada para pengunjung bagaimana cara mewarangi keris dan membuat warangkanya. Dengan demikian diharapkan pula banyak generasi muda di kota pekalongan (khususnya) lebih tertarik untuk mengenal lebih dekat dengan keris.