3.21.2011


BE! "THE FIRST FOLLOWER" of
banyankalpataru.blogspot.com



and get a special gift from me!




*: Only applies to areas in Indonesia

PESAREYAN KOTAGEDE, Setitik Keheningan dalam Kesibukan Jogja

Begitu meninggalkan Imogiri (baca: Imogiri, ‘Peristirahatan’ Berpeluk Kabut, Edisi Maret 2011) dengan masih berbusana peranakan, saya langsung menuju Kotagede, sudah beberapa kali saya ke Kotagede, tapi kali ini bukan ingin mengantar sedulur belanja, tapi spesial untuk melakukan ziarah.

Terletak sebalah barat laut dari Kota Yogyakarta, kota yang terkenal dengan kerajinan peraknya ini strategis, diapit oleh dua sungai, menjadi pilihan bagi Panembahan Senopati untuk mendirikan ibukota dari kerajaan yang beliau dirikan. Sebagai pusat pemerintahan yang masih mengacu kepada pola tata letak ruang pada jaman kerajaan Hindu-Budha, maka Panembahan senopati juga mendirikan kedatonnya sama seperti itu. Namun yang tersisa saat ini hanyalah Masjid Agung, tembok, dan Watu Gilang yang dulu berfungsi sebagai singgasana raja.

Karena waktu sudah hampir siang, dan area pemakaman tutup pada pukul satu siang, maka saya langsung menuju area pemakaman yang ternyata ada rombongan yang sepertinya dari Universitar Tri Sakti (lagi KKN mungkin ya?). begitu masuk saya langsung diarahkan menuju pusara Panembahan Senopati, tapi karena penuh, saya menuju pusara milik ayah angkat beliau, Sultan Hadiwijaya (Sultan pertama Kesultanan Pajang).

Sama seperti yang saya lakukan dalam setiap ziarah, saya melakukan rangkaian dari mulai qashidah pembuka, yasinan, tahlilan, sampai dengan qashidah penutup. Suasana di pesareyan di Kotagede tidak jauh beda dengan di Imogiri. Gelap namun luas, jadi sekitar kurang lebih dua puluh pusara ada dalam satu atap limasan.

Banyak sekali tokoh terkenal yang terdapat dalam cerita sejarah dimakamkan disana, terutama pada masa berakhirnya Kesultanan Demak sampai berdirinya Mataram Islam. Jadi jangan heran, jika Ratu Kalinyamat yang bahkan kerajaan Perancis pernah mengirimkan delegasi untuk meminta restu dalam melakukan perdagangan di nusantara, pusara beliau ada di Kotagede. Begitu juga Ki Ageng Mangir yang terkenal akan separo pusaranya yang berada di dalam dan setengah bagian di luar tembok komplek pemakaman, dikarenakan Panembahan Senopati menganggap dirinya sebagai menantu juga musuh.

Ada yang paling berkesan ketika saya berhasil menemukan pusara leluhur saya, Sunan Amangkurat Agung. Ya, yang reputasinya terkenal kejam*; membunuh puluhan ulama tembayat, menghabisi nyawa seluruh selir, bertikai dengan putra mahkotanya sendiri, melakukan persekutuan dengan kompeni yang sebelumnya diperangi oleh ayahnya sendiri, bahkan sampai memutuskan hubungan diplomasi dengan Kesultanan Makasar, yang ketika itu dipimpim oleh Sultan Hasanuddin. Pasalnya, menurut juru kuncinya beliau tidak dimakamkan di Kotagede, namun dengan berbekal kebisaan saya dalam membaca aksara Jawa, makanya saya menemukan pusara beliau.
Dahulu saya pernah diajak juga namun tidak sampai masuk ke makam. Saya beserta Simbah pergi untuk melihat kolam yang konon tempat hidupnya Bulus Kuning dan Ikan Urip-urip. Bulus Kuning itu saya pernah diceritakan asal-usulnya. Tapi kalau Ikan Urip-urip ini yang masih teringat dibenak saya. Dahulu juru masak Sultan Agung membuat lauk berbahan ikan yang sangat lezat, saking lezatnya sang sultan memanggil juru masaknya, ketika ditanya apa nama menu olahan ikan tersebut, dijawabnya diolah dengan bumbu urip-urip yang artinya hidup. Kemudian Sultan pun mengulanginya “Urip-Urip” dan seketika ikan yang hanya tersisa tulang belulang tersebut menjadi hidup kembali, karena konon kebanyakan pemimpin pada masa lalu memiliki kelebihan-kelebihan serta karomah yang diberikan Tuhan. Lalu dipeliharalah ikan itu di kolam dekat komplek Masjid Agung. Namun, hanya orang yang sudah menjalani ‘laku tirakat’ sajalah yang mampu melihat, bukan dengan ‘mata telanjang’, karena kedua binatang tersebut sudah dighaibkan.


*: http://id.wikipedia.org/wiki/Amangkurat_I
http://www.terrajawa.net/napaktilas_detail.php?artikel_id=64

Tiga Toko Batik Pilihan

Tiga Toko Batik Pilihan

banyankalpataru.blogspot.com


1. Batik Terang Bulan

Alamat: Jalan Jendral A. Yani 108 (d/h 76) Selatan Kepatihan

Toko batik yang satu ini sudah berdiri di Jogja sejak tahun 1942. Memiliki banyak sekali produk batik yang dapat dibilang cukup konvensional. Penulis memilih Terang Bulan sebagai salah satu dari ketika toko batik yang mampu bertahan hingga saat ini.

2. Batik Mataram

Alamat: Jalan Malioboro (Seberang Mall Malioboro)

Jl. Suryadiningratan No. 20 Yogyakarta

Toko batik ini menjadi pilihan penulis, karena tempatnya yang nyaman di tengah hiruk-pikuk Malioboro, kualitas batik yang dapat dipertanggungjawabkan, design yang baik, elegan, dan terbatas sehingga sangat meminimalkan ada kesamaan dengan pengguna lainnya.

3. Dagang Batik Ny. Hj. Soegeng

Alamat: Pasar Bringharjo Sayap Utara Los I

Los yang satu ini, penulis jadikan pilihan dari sekian banyak pedagang batik di Pasar Bringharjo karena masih tetap menyediakan bahan-bahan yang dibutuhkan seniman konservatif. Jadi, ketika membutuhkan motif parang gendreh garudo, parang barong garudo, atau kain-kain yang digunakan untuk bermacam rangakaian upacara tradisional masih dapat kita temui disini. Maka tidak ada salahnya kalau penulis memilihnya sebagai salah satu dari ketiga pilihan batik tersebut.

3.18.2011

Imogiri, 'Peristirahatan' Berpeluk Kabut



Imogiri, komplek pemakaman Raja-Raja Mataram, bersemayam kokoh diatas perbukitan di selatan Kota Yogyakarta. Imogiri yang berarti gunung berkabut, memang saya menyaksikannya sendiri, bagaimana kabut mengelilinginya. Panorama yang tidak dapat saya lukiskan.


Awalnya saya ditawari untuk naik melalui sisi terdekat dari komplek pemakaman, tapi saya menolak, dengan alasan ingin napak tilas, juga menikmati segala keindahan yang disuguhkan dari bukit ini. Memang untuk memasuki komplek pemakaman terdapat dua akses. Pertama, melalui jalur konvensional, yaitu benar-benar merasakan jerih payah dalam mendaki ratusan anak tangga yang tergelar menuju ke komplek pemakaman. Atau jalur alternatif yang kendaraan dapat langsung parkir disebelah komplek pemakaman. Biasanya jalur ini juga sering digunakan oleh peziarah yang sudah lanjut usia.


Udara yang sejuk dan ditemani kicauan bermacam jenis burung-burung hutan (karena bukit ini juga dilindungi ekosistemnya oleh Kementrian Kehutanan), menemani saya yang sedang mendaki, sehingga sampai ke pemakaman tanpa terasa. Yang saya rasakan, ketika ingin berganti baju peranakan (baju dinas terbuat dari kain lurik biru berselang hitam yang biasa dipakai oleh abdidalem Kraton Yogyakarta, yang konon merupakan baju kesukaan Sunan Kalijaga), keringat keluar deras tanpa henti, sampai beberapa saat saya harus mengkipasi tubuh saya. Saya jadi sempat berpikir kalau tangga-tangga itu bisa menjadi alternatif untuk latihan cardio, alias pas buat yang ingin membakar kalori.

Pemandangan dari Imogiri

Memasuki bilik pertama atau yang sering disebut bangsal kasultanagungan yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Sultan Agung (1593-1645) yang dijaga oleh abdidalem dari dua istana, Yogyakarta dan Surakarta. Disana sangat pantas untuk me-recharge semangat hidup seperti bagaimana perjuangan beliau memperjuangkan tanah Jawa lepas dari cengkraman Kolonial.


Bagi saya tentang perjalanan hidup Sultan Agung yang menarik adalah ketika beliau tetap gigih sampai ‘titik nol’ dan pelajaran nothing impossible at the future, ketika harus mendapati lumbung perbekalan di bakar oleh pihak VOC, sehingga banyak prajurit yang tewas akibat kekurangan perbekalan, dan beliau membalasnya dengan melemparkan mayat-mayat korban perang kedalam sungai-sungai yang melewati Batavia, sehingga disana muncul wabah kolera yang bahkan Gubernur Jendral VOC saat itu J.P. Coen harus meninggal dalam wabah itu. Jadi dapat dikabilang kalau perang merebut Batavia, Mataram tidak kalah telak alias zero-zero.


Persis di samping makam beliau terdapat lantai yang mengeluarkan aroma wangi. Wanginya seperti wangi mawar segar, tapi tidak membuat pusing, tadinya saya sempat tidak begitu percaya tapi kenyataannya memang seperti itu. Dipercaya bahwa di lantai itulah jasad beliau disemayamkan, guna mengecoh bagi siapa saja yang ingin membongkar makam tersebut, dan memang saya akui memang wangi. Bangsal tersebut di makamkan juga permaisuri beliau Ratu Batang dan cucu beliau Amangkurat Amral dan Amangkurat Mas. Jadi saya sempatkan juga menziarahi beliau-beliau.


Berikutnya saya menziarahi tiga raja-raja terakhir Keraton Yogyakarta, yakni; Hamengku Buawana VII, VIII, dan IX. Pada masa Hamengku Buwana VIII lah tari jawa klasik gaya Yogyakarta mengalami ‘masa keemasannya’. Beliau mengijinkan tarian diajarkan diluar tembok keraton, pakem-pakem diperjelas, pembuatan kostum yang kemudian dibakukan, dan masih banyak lagi.


Kalau Sri Sultan Hamengku Buwana IX tidak diragukan lagi ketenarannya. Banyak sekali jasa-jasa beliau yang masih dapat kita kenang hingga saat ini. Menjadi wakil presiden pada masa Presiden Suharto, Menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan, Beliau juga yang mencetuskan masuknya Yogyakarta sebagai bagian dari Republik Indonesia.


Memang butuh tenaga ekstra untuk menziarahi seluruh makam tersebut, karena selain memang harus menghadapi medan yang tinggi, namun juga siap uang pecahan yang digunakan untuk menyumbang dana pengabdian para abdi dalem. Karena hampir disetiap tempat akan disediakan tempat untuk meletakan sumbangan tersebut.


Selanjutnya saya menziarahi almarhum Pakubuwana I dan Amangkurat Jawi. Makam beliau-beliau ini masih dijaga oleh para abdidalem dari dua keraton. Uniknya begitu saya mau berziarah, ternyata pintunya dikunci oleh dua gembok tua (yang bentuk gemuk, dan kuncinya sebesar jempol orang dewasa), jadi ketika saya harus masuk ada abdidalem dari keraton Jogja dan Solo yang mendampingi saya.


Begitu memasuki bilik pusara Pakubuwana I, yang kuncinya dipegang oleh abdidalem asal keraton Jogja. Suasana yang hampir sama dengan makam-makam yang lain, ditutupi kelambu, dan sumber sinar berasal dari sebatang lilin. Selesai berziarah, saya menuju senthong(bilik atau kamar tengah di dalam rumah adapt jawa) tempat pusara Amangkurat Jawi berada, dan saya pun berziarah disana.


Setelah itu saya mengakhiri perjalanan ziarah saya di Pajimatan Imogiri ini dengan membaca qasidah penutup yang diciptakan oleh seorang ulama dari Hadramaut, yang intinya mendoakan akan kebahagian bagi mereka yang kita ziarahi. Ada kepuasan tersendiri dalam diri saya bisa meluangkan waktu untuk mengunjungi Imogiri dan ajimumpung saya masih di Jogja, makanya sayang sekali untuk dilewatkan.


Selama berziarah saya tidak sendiri, ada beberapa kelompok dari wisatawan asing dan pegawai Sekolah Polisi di daerah Banyubiru, dan mereka tetap harus menggunakan busana wajib untuk berziarah. Bagi saya melihat mereka terkesan unik, mungkin karena bukan pakaian dinas kesehariannya.



Begitu meninggalkan saya sempatkan untuk membeli ‘minuman sampah’ khas Imogiri atau yang dikenal sebagai Wedang Uwoh. Bukan berarti sampah beneran, tapi karena bahan bakunya yang mudah diperoleh di hutan sekitar makam, kalau digabungkan seperti segenggam sampah, tapi untuk masalah rasa tidak diragukan lagi bagi pecinta minuman herbal tradisional, rasa hangat segera menjalar ke seluruh tubuh.