11.24.2010

SETIA DARMA (EPISODE III)

Kami melanjutkan perjalanan berliku mengikuti plang penunjuk Setia Dharma. Akhirnya sampailah kami pada sebuah (dapat dibilang) yang memang meyakinkan untuk dikatakan sebagai galeri atau museum. Suasana asri mengingatkan saya dengan museum Ulen Sentalu di Yogyakarta. Memang kami akui kalau museum atau galeriyang dipegang oleh pribadi pasti hasilnya lebih oke ketimbang yang dikelola oleh pemerintah.

Sebelum masuk kami disambut oleh anjing kintamani yang lucu dan ramah tapi saking ramahnya males aja kalau sampai dia harus menjilati kaki kami. Sehingga saya tepaksa untuk, “Bli.. bliii… tolong dong hehehe...”, karena kebetulan ada seorang yang sedang menyapu pekarangan yang kemudian kami diantar menemui kakaknya sebagai asisten dari Pak Prayit.
Terdapat empat buah Joglo tulen yang dibawa dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kesan antik timbul dari keempat joglo tersebut. Pasti yang punya galeri ini sangat beduit. Pada Joglo pertama kami dibawa ke tempat koleksi wayang-wayang berada. Terdapat berbagai macam koleksi wayang dari segala daerah; Lombok, Malaysia, Kamboja, Thailand, bahkan Cina (bukan pho the hii loh ya). Oh iya, disini terdapat wayang yang bahan dasarnya dari gethuk; makanan khas Jawa yang terbuat dari singkong.

Setelah dijelaskan semua tentang cerita dibalik koleksi di joglo ini, mulai dong saya utarakan maksud utama tujuan saya ke Setia Darma untuk mencari informasi tentang cerita Panji, karena di Bali sendiri ada tarian Panji Semirang. Dengan santainya Mas Amda mengatakan kepada saya, “Lah itu yang dari kamboja cerita Panji”.

Saya terjengah dan langsung kembali ke tempat wayang dari kamboja itu dipajang. Benar-benar bukan omongan belaka ketika saya dapat meilhat dengan mata kepala sendiri, cerita Panji dan Dewi Sekartaji yang menyebrang hingga Kamboja. Sebenarnya memang cerita ini menyebar cepat dengan latar di segala penjuru nusantara bahkan mancanegara tidak lain adalah hasil dari melebarnya kekuasaan Majapahit, dan cerita Panji ketika itu semacam roman bergensi bagi penduduknya. Maka jangan heran jika Cerita Panji beradadi negeri Makasar juga.

Bentuknya unik, ukirannya lebih lebar dari wayang Jawa, tapi bentuknya lenih kecil, mungkin sama dengan wayang Bali atau Lombok. Dengan pola pakaian yang khas dari tanah kamboja, yang mahkotanya bertumpuk seperti pagoda. Sangat menarik dan lucu ketika tahu cerita dibalik tokoh-tokoh itu. Memang benar kalau ada yang bilang,”tak kenal maka tak sayang”. Dan miris apabila itu menyangkut budaya bangsa sendiri. Maka jangan heran kalau pengakuan Mas Amda kalau yang datang kesini kebanyakan orang asing.

Kemudian saya menyadari bahwa wayang babar ini menceritakan perjalanan Panji Asmorobangun mencari Dewi Sekartaji. Rasa haru ketika apa yang akan saya tarikan, terbabar jelas pada enam buah etalase kaca. Semuanya menceritakan lakon Joko Kembang Kuning.

Bersambung...

SIDAKARYA NYASAR (EPISODE II)

Cukup sulit ketika kami mencari tempat ini, kami kesasar…! Tapi beruntungnya kami kesasar di sebuah rumah pembuatan topeng milik bapak I Wayan Muka salah seorang pengerajin Topeng di daerah Ubud. Ketika kami datangi ada tiga orang yang sedang mengukir kayu-kayu untuk dibuat menjadi topeng. Salah satunya adalah anak dari Pak Muka sendiri, dan ia adalah generasi ketiga sebagai penerusnya.

“Jadi kayu yang kami pilih adalah kayu waru, bahannya bagus untuk dibuat topeng.”
“Memang apa bedanya dengan kayu yang lain?”
“Bedanya, nanti pas kita bawa ke luar, biasanya kalau kayu yang lainnya bakal retak, kita ambil contoh kayu mangga, nanti dia rethak thu… karena beda dah thu iklimnya. Iya dah thu ciri-cirinya kalau dipotong nyamping, nanti ada tiga lapisan.”
Memang kayu ini memiliki karakter ketika di potong maka lapisannya terbagi tiga; tengahnya hitam, kemudian coklat tua pada lapisan kedua, dan coklat muda pada lapisan terluar. Tapi sayang saya tidak sempat mengabadikannya.
Selanjutnya kami diajak ke galeri topengnya.
“Bli, saya mau tanya dong, dulu ketika saya lihat sebuah film dokumnter, ketika topeng Sidakarya keluar kok banyak anak kecil yang nangis, memang dulunya dia suka nyulik anak kecil ya?”
“Hahaha… ndak, sebethulnya Sidakarya itu adalah sosok yang mengesahkan jalan sebuah upacara.”
Kemudian Bli menceritakan bahwa dahulu ada seorang pendeta agung yang dia itu pada zaman dahulu datang ke sebuah upacara adat dengan berparas seperti pengemis, nah… karena penduduk tidak berkenan maka diusirlah Sidakarya tersebut, marahlah ia maka ia mengutuk upacara itu gagal. Maka upacara itupun gagal.
Ketika penduduk tahu kalau yang datang adalah sang pendeta agung maka mereka mencarinya. Akhirnya penduduk menemukan Sidakarya dengan wujud yang asli, kemudian mereka meminta maaf dan meminta agar Sidakarya mengesahkan jalannya upacara, lain kata beliau sebagai perantara utama antara jagad manusia dengan para dewa.
Disana terdapat satu keluarga yang sedang memilih beberapa topeng ketika kami masuk kedalamnya. Takjub semua topeng terlihat hidup semuanya, seperti mereka memiliki ruh. Tidak ada kesan seram, hanya takjub, ingin memliki.
“Jadi, thothalnya empatt jutta enam rathus ribbu semuanya” kata Pak Muka mengatakan harga kedua topeng yang akan dibayar oleh keluarga tersebut. Spontan saja saya yang tidak sengja mendengarnya terkejut dan berumpat.
Sejenak sambil berlagak seperti wisatawan berdompet tebal (karena kami menyewa mobil dihari itu-gila aja kalau naik motor, mateng di bypass Ngurah Rai) melihat dan mengaggumi hasil karyanya sambil terus menuju pintu keluar.
“Bli kami pamit dulu ya karena masih banyak yang harus kami kunjingi. Terima kasih Pak Muka.”
“Oh iya… silahkan terima kasih banyak ya.”

Untungnya mereka sedang sibuk dengan alat debitnya. Sehingga tidak terlalu memperhatikan kami yang sebenarnya sudah deg-degan takut disuruh membeli produknya.

Bersambung...

MERAPI GEGER KUNTILANAK GOLEK (EPISODE I)

Mustokoweni-Jogja, 13 November 2010

“377.600 berdua, berarti seorangnya sekitar 150.000an dong ya? Hahaha murahnya buat ke Bali

“Bayar sekarang kalau begitu ya”

Akhirnya saya dan Bratma mentransfer sejumlah uang yang harus dibayarkan.

Seluruh kota di kaki gunung merapi diselimuti suasana mencekam akibat merapi erupsi dan memuntahkan yang awan panas, wedus gembel, hujan abu, hujan pasir dan istilah yang lainnya. Bagi saya cukup ketar-ketir, “bisa berangkat gak ague sedangkan bandara aja masih ditutup?”.


Akhirnya kami terbang ke Denpasar via Semarang. Dasarnya saya tidak betah untuk beratahan tanpa ada aktifitas yang berarti akhirnya saya niatkan sejak sebelum hari keberangkatan kalau saya harus menjabanin Lawang Sewu yang tersohor itu.


“Kalau disini (baca: Lawang Sewu), susah mau liat lelembut, kadang pas lagi ga pingin liat malah diliatin, kalau dari awal sudah mau liat malah ga diliatin” kata seorang pemandu kami dan sejujurnya saya memang yang niat ingin lihat sejak awal, tapi hasilnya… “Lah pak! Terus tadi yang saya lihat bayangan di jembatan penghubung itu apa?”

“loh? Masnya juga lihat toh?”

#$(*^&@%!?}|>>>...!

***


Bisa dibilang baru saya mulai tertarik dengan cerita epos Panji dalam episode wayang gedog(sendratari wayang dengan tema mengambil dari cerita Panji). Setelah saya mulai mempelajari tarian Klana Raja pada Mas Tatok saya mulai tertarik untuk mempelajari cerita apa dibalik apa yang saya tarikan. Menarik ketika tahu bahwa pemeran utamanya(Panji dan Dewi Sekartaji) berkelana dari jawa timur hingga Bali, Lombok, bahkan hingga tanah Thailand dan Kamboja.

Senang rasanya ketika saya bersama rekan saya Bratma, berhasil menemukan Setia Dharma House of Mask and Puppet di Ubud, tempat itu sebelumnya pernah diliput oleh Kick Andy yang pada waktu itu membahas tentang manusia topeng, jadi salah satunya Pak Prayit sebagai manajer dari Setia Dharma diundang untuk berbicara. Kebetulan juga kami telah memegang tiket ke Bali, maka tambahlah rute tujuan kami. Saya masih bingung untuk membedakan tokoh topeng pada wayang gedog. Harapan besar untuk menemukan jawabannnya di Setia Dharma.


Bersambung...