11.24.2010

SIDAKARYA NYASAR (EPISODE II)

Cukup sulit ketika kami mencari tempat ini, kami kesasar…! Tapi beruntungnya kami kesasar di sebuah rumah pembuatan topeng milik bapak I Wayan Muka salah seorang pengerajin Topeng di daerah Ubud. Ketika kami datangi ada tiga orang yang sedang mengukir kayu-kayu untuk dibuat menjadi topeng. Salah satunya adalah anak dari Pak Muka sendiri, dan ia adalah generasi ketiga sebagai penerusnya.

“Jadi kayu yang kami pilih adalah kayu waru, bahannya bagus untuk dibuat topeng.”
“Memang apa bedanya dengan kayu yang lain?”
“Bedanya, nanti pas kita bawa ke luar, biasanya kalau kayu yang lainnya bakal retak, kita ambil contoh kayu mangga, nanti dia rethak thu… karena beda dah thu iklimnya. Iya dah thu ciri-cirinya kalau dipotong nyamping, nanti ada tiga lapisan.”
Memang kayu ini memiliki karakter ketika di potong maka lapisannya terbagi tiga; tengahnya hitam, kemudian coklat tua pada lapisan kedua, dan coklat muda pada lapisan terluar. Tapi sayang saya tidak sempat mengabadikannya.
Selanjutnya kami diajak ke galeri topengnya.
“Bli, saya mau tanya dong, dulu ketika saya lihat sebuah film dokumnter, ketika topeng Sidakarya keluar kok banyak anak kecil yang nangis, memang dulunya dia suka nyulik anak kecil ya?”
“Hahaha… ndak, sebethulnya Sidakarya itu adalah sosok yang mengesahkan jalan sebuah upacara.”
Kemudian Bli menceritakan bahwa dahulu ada seorang pendeta agung yang dia itu pada zaman dahulu datang ke sebuah upacara adat dengan berparas seperti pengemis, nah… karena penduduk tidak berkenan maka diusirlah Sidakarya tersebut, marahlah ia maka ia mengutuk upacara itu gagal. Maka upacara itupun gagal.
Ketika penduduk tahu kalau yang datang adalah sang pendeta agung maka mereka mencarinya. Akhirnya penduduk menemukan Sidakarya dengan wujud yang asli, kemudian mereka meminta maaf dan meminta agar Sidakarya mengesahkan jalannya upacara, lain kata beliau sebagai perantara utama antara jagad manusia dengan para dewa.
Disana terdapat satu keluarga yang sedang memilih beberapa topeng ketika kami masuk kedalamnya. Takjub semua topeng terlihat hidup semuanya, seperti mereka memiliki ruh. Tidak ada kesan seram, hanya takjub, ingin memliki.
“Jadi, thothalnya empatt jutta enam rathus ribbu semuanya” kata Pak Muka mengatakan harga kedua topeng yang akan dibayar oleh keluarga tersebut. Spontan saja saya yang tidak sengja mendengarnya terkejut dan berumpat.
Sejenak sambil berlagak seperti wisatawan berdompet tebal (karena kami menyewa mobil dihari itu-gila aja kalau naik motor, mateng di bypass Ngurah Rai) melihat dan mengaggumi hasil karyanya sambil terus menuju pintu keluar.
“Bli kami pamit dulu ya karena masih banyak yang harus kami kunjingi. Terima kasih Pak Muka.”
“Oh iya… silahkan terima kasih banyak ya.”

Untungnya mereka sedang sibuk dengan alat debitnya. Sehingga tidak terlalu memperhatikan kami yang sebenarnya sudah deg-degan takut disuruh membeli produknya.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment